Menjadi guru SMP di pedalaman dituntut untuk menjadi guru
serba bisa. Ibarat guru super power yang bisa ngalahin komputer. Bukan sekedar
mendidik siswa masuk dalam katagori “jack
of all trades, but master of none” (tahu sedikit sedikit tentang banyak
hal, tapi tidak menguasai apapun). Tapi alasan sebenarnya, karena memang
keterbatasan guru, buku dan fasilitas lain. Apapun ilmunya dan rasanya harus
disampaikan ke siswa dengan segala kerendahan hati. Termasuk mempelajari ilmu
yang menjadi momok banyak siswa, belajar matematika.
Hari ini aku masuk di kelas VIII. Kelas yang lumayan
heboh. Satu kelas sekitar 20an anak dengan berbagai karakter unik. Bahkan
saking uniknya ada murid q yang merupakan tetua adat di suku nya yang berasal
dari kampung seberang. aku ingin mengajari mereka untuk mengenalkan sudut. Di jawa,
pelajaran sudut pada matematika sudah di pelajari saat kelas 2 SD, tapi disini
sekolah di jenjang SMP, sudut pun masih di pelajari. Keterbatasan membuat semua
menjadi mungkin.
Untuk memudahkan pemahaman, sudut saya analogikan sesuatu
yang ada di pojok ruang kelas. sesuatu ruang di pojok kamar dan semacamnya.
Cukup lama mereka baru paham. Kukenalkan mereka pada garis yang membentuk
sudut. Ku suruh mereka membuat garis dan jenis jenis sudut di di buku masing
masing. Hasilnya sungguh so sweet, ada garis yang lumayan bagus, ada garis naik
turun, ada garis bengkok kanan kiri macam ular. Berbagai variasi jenis sudut
yang awalnya hanya 3 di papan tulis ( sudut lancip, sudut siku dan sudut
tumpul). Kulanjutkan pelajaran tentang besar sudut. Contoh sederhana kusuruh
mereka untuk melihat jam dinding di depan kelas. Mereka kusuruh mengamati
pertemuan 2 jarum jam yang membentuk sudut. ternyata banyak yang belum bisa sudut
pada jam. Aku penasaran dan bertanya, dari sekian anak siapa yang dirumahnya ada
jam dinding? Dengan bangga ku edarkan pandangan ke seluruh kelas, Oh my
God....hanya dua anak yang mengacungkan tangan. Ok fine, pantesan mereka ndak
paham.
Baiklah berarti harus ada alat untuk memudahkan
penghitungan sudut. Pas waktu itu aku
Hatiku semacam sedikit ndak enak. Ini siswa pada kemana
yang ambil busur kok belum nongol. Bukannya di kios pak mul ada. Kalo jalan kaki,
20 menit paling nyampek. Ditunggu-tunggu
kok ndak kembali-kembali. Pada singgah kemana? Jangan jangan pada kabur? Atau
mereka dikejar orang gila. Pikiran aneh mulai menari nari di otak. Ya aku terus
berdoa, semoga tidak terjadi apa apa. Semacam berabe klo ada masalah dan aku
harus memperanggungjawabkannya di depan suku. Secara mereka kan hilangnya pas
jam sekolah. Kulangkahkan kakiku ke luar kelas untuk menghirup udara segar.
Masuk lagi mengecek siswa. Keluar lagi, masuk lagi.. rasa khawatir benar benar
menghantui ku...”kemana mereka pergi? Apakah mereka baik baik saja?”
Kuputuskan untuk masuk kelas dan duduk sambil memandangi
siswaku yang lain. Mereka tetap riang sambil berceloteh ndak jelas. Pintu ruang
kelas diketuk, kubuka pintu dengan tergesa gesa. dan kulihat berleleran di
wajah siswaku. What happen guys???. Murid q dengan terbata bata bilang. “Ibu
maaf e, kita tadi pergi di balik gunung, busur di sa pu rumah dibawa bapak ke
hutan “. Aku ndak konsen dengan jawaban siswaku. Karena pikiranku dipenuhi
dengan yang lain, alhamdulillah kalian selamat. “Oke silahkan duduk”. Beberapa
saat kemudian, aku melihat siswa yang baru datang dan bertanya kepada siswa
satunya. “tadi temanmu bilang apa?”. Siswa ku menjawab, kalau busurnya di bawa
ke hutan sama bapaknya. Dalam benak, aku membatin, wah buat apa busur di bawa
ke hutan?ah sudahlah... Setelah
sekian lama siswaku yang lain masuk dengan membawa anak panah dan busur panah di
tangan. Dengan wajah polos siswaku bilang “Ibu ini busur yang ibu minta, mau
memanah apa bu”
Aku menepuk jidat...Ternyata oh ternyata, jadi
selama ini mereka belum tau penggaris busur yang ku maksud. Jadi selama
ini kalo aku ngomong busur, yang mereka pahami adalah busur anak panah....ckckckck....hays....... ( cerita dari seorang sahabat)
Abmisibil,
2 bulan setelah tiba di tanah cendrawasih
Pertengahan
Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar