PENERAPAN
MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION
UNTUK
MENINGKATKAN KETRAMPILAN BERPIKIR KRITIS PADA MATERI LITHOSFER MATA PELAJARAN GEOGRAFI SISWA KELAS X IPS SMA NEGERI 1 MALANG
Nikmatul
Istikhomah* Budi Handoyo *
Jurusan
Geografi Universitas Negeri Malang
Jalan
Semarang 5, Malang 65145
Email: nikmatul.istikhomah@gmail,com
Abstrak:
Permasalahan yang terjadi di kelas X IPS SMA N 1 Malang adalah rendahnya
kemampuan berpikir kritis siswa, terlihat selama pembelajaran hanya beberapa
siswa yang aktif bertanya dengan kualitas pertanyaan berpikir kritis dan
jawaban siswa pun masih berdasarkan buku, belum mampu menganalisis. Adapun
tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan peningkatan kemampuan siswa
berpikir kritis. Penelitian ini adalah jenis Penelitian Tindakan Kelas (Classroom
Action Research). Model yang digunakan pada penelitian ini adalah Group
Investigasi. Langkah model terdiri dari mengidentifikasi topik dan
pengelompokan, merencanakan penyelidikan, melaksanakan penyelidikan, menyiapkan
laporan akhir, menyajikan laporan dan evaluasi. Obyek penelitian
ini adalah siswa kelas X IPS SMA Negeri 1 Malang. Kegiatan pembelajaran terdiri
dari dua siklus, setiap siklus terdiri dari kegiatan perencanaan,
pelaksanaan,observasi, dan refleksi. Kemampuan berpikir kritis siswa sebelum
tindakan sebesar 70,33 , pada tindakan siklus I kemampuan berpikir kritis siswa
meningkat menjadi 75,83. sedangkan pada tindakan siklus II kemampuan berpikir
kritis siswa mengalami peningkatan menjadi 85,50.
Kata-kata Kunci: Grup investigasi, berpikir kritis
Kemampuan memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif, sistematis, dan
logis sangat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai perubahan dalam perkembangan
zaman. Beberapa kemampuan tersebut termasuk dalam kompetensi masa depan yang
harus dimiliki oleh siswa. Sumarmi (2013:3) menjelaskan bahwa salah satu
kompetensi masa depan yang harus dimiliki oleh siswa adalah kemampuan berpikir
kritis.
Kemampuan berpikir kritis perlu dilatih agar siswa lebih
terbiasa untuk melakukannya. Selaras dengan pendapat (Dewi, 2011:1) bahwa siswa
perlu dibiasakan untuk berpikir kritis agar mereka memperoleh banyak manfaat.
Pihak pemerintah sebenarnya juga sudah menuntut guru untuk melatih siswanya
untuk berpikir kritis. Pernyataan ini sebagaimana yang tercantum dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomer 23 tahun 2006 tentang standar
kompetensi kelulusan bahwa setiap siswa diharapkan dapat menunjukkan
kemampuannya untuk berpikir kritis dan logis.
Kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa dan telah tercantum
dalam standar kelulusan dapat dilatih melalui mata pelajaran Geografi.
Sumaatmadja (2001: 20) menyatakan bahwa pembelajaran geografi dapat
mengembangkan kemampuan intelektual tiap orang atau secara khusus para siswa
yang mempelajarinya. Dengan demikian, Geografi memiliki peran untuk melatih
siswa dalam berpikir dan mengembangkan keterampilannya.
Kurikulum 2013
menuntut siswa untuk memiliki high order thinking pada pembelajaran yang
dilaksanakan. Sebagaimana pada KD Menganalisis Hubungan Manusia dengan lingkungan sebagai akibat dari dinamika litosfer
yang menuntut siswa untuk mencapai kompetensi pada ranah
menganalisis. Analisis yang dimaksud adalah permasalahan terjadinya erosi tanah dan permasalahan
kerusakan tanah Adapun pada KD 3.3 Menganalisis dampak sosial letusan gunung api di Indonesia siswa juga dituntut untuk bisa menganalisis. Akan tetapi, pada
kenyataannya belum optimal pelaksanannya.
Demikian pula yang terjadi di SMAN 1
Malang, berdasarkan observasi awal yang dilakukan pada tanggal 05 dan 07
September 2015 dikelas X IPS belum
menunjukkan adanya pembelajaran yang dapat melatih siswa berpikir secara
kritis. Pembelajaran Geografi yang berlangsung selama ini menggunakan metode
ceramah, pemberian tugas dan kerja kelompok. Metode yang digunakan kurang
melatih siswa berfikir kritis dalam proses pembelajaran. Hal ini terlihat dari
kegiatan pembelajaran yang ada di kelas didominasi guru sehingga siswa hanya
menerima materi yang diberikan oleh guru, jarang secara mandiri berupaya
memperoleh pengetahuan, sehingga dampaknya interaksi antara siswa dengan siswa
belum optimal.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara
tidak tersruktur dengan guru mata pelajaran ditunjukkan dengan 15 siswa dari 26
siswa yang berpartisipasi dalam proses pembelajaran sedangkan siswa yang lain
hanya diam, berbicara sendiri dengan teman sebangku dan cenderung pasif,
sehingga mempengaruhi hasil belajar yang dicapai. Berdasarkan nilai hasil
belajar, rata-rata masih rendah dengan rata-rata kelas yang dicapai hanya 63,59
dari Standar Ketuntasan Minimal 78.
Sebenarnya guru sudah berusaha
mendorong siswa terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu dengan memberikan
kesempatan pada siswa untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya yang
berkaitan dengan materi yang sedang disajikan, bahkan guru sudah mengajukan
beberapa pertanyaan yang bersifat permasalahan untuk dijawab oleh siswa, tetapi
hanya beberapa siswa saja yang ikut berpatisipasi mengajukan pertanyaan dan
menjawab pertanyaan yang diajukan guru, sedangkan siswa yang lain hanya diam saja.
Kurangnya partisipasi siswa dalam proses pembelajaran tersebut membuat siswa
tidak terbiasa berfikir kritis sehingga menyebabkan kemampuan berfikir kritis
siswa menjadi lemah.
Pemilihan model pembelajaran yang akan
digunakan pada setiap proses belajar mengajar perlu disesuaikan dengan materi
dan kondisi siswa. Pemilihan model juga disesuaikan dengan tujuan pembelajaran
yang akan dicapai. Hal yang lebih penting adalah disesuaikan dengan kelebihan
dan kekurangan dari model pembelajaran.
Diskusi kelompok yang terjadi di dalam model
pembelajaran Group Investigation akan
mendorong siswa untuk belajar mandiri dan berusaha untuk menyampaikan
pendapatnya. Hal ini juga akan dapat melatih mereka untuk menghargai pendapat
dari siswa lain. Manfaat lain yang dapat diperoleh dari penerapan model
pembelajaran Group Investigation adalah
melatih tanggung jawab setiap siswa untuk memberikan kontribusi dalam
penyelesaian tugas kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarmi (2012: 127) yang menjelaskan bahwa
setiap anggota kelompok wajib menyelesaikan tugas masing-masing sesuai dengan
persetujuan kelompok. Dengan demikian, akan lebih baik jika setiap anggota
kelompok mendapatkan soal yang berbeda, sehingga masing-masing anggota memiliki
tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas.
Belajar di dalam kelompok akan melatih siswa
untuk bekerjasama dan bertukar pikiran, sehingga mampu meningkatkan prestasi
mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Sharan (dalam Sumarmi, 2012: 127) yang
menjelaskan bahwa ”penerapan model pembelajaran Group Investigation mampu meningkatkan prestasi belajar siswa”.
Untuk mampu bertukar pikiran, maka siswa diharapkan berusaha mencari hal-hal
baru secara mandiri salah satunya dengan cara membaca buku.
Dari
beberapa pendapat yang telah dijelaskan, model pembelajaran Group Investigation dapat mendorong
siswa untuk aktif dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan masalah yang saat
itu dibahas. Dengan menerapkan model pembelajaran ini siswa juga akan dapat
mengembangkan kemampuannya dalam
memecahkan suatu masalah. Guru perlu memberikan latihan dan membiasakan
siswa untuk berpikir kritis, sehingga siswa dapat terbiasa untuk berpikir
kritis dan manfaat-manfaat yang diharapkan dapat terwujud (Dewi, 2011: 2).Geografi yang pernah disampaikan dengan menggunakan model pembelajaran Group Investigation yaitu materi Sumber
Daya Alam. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa penerapan
model pembelajaran Group Investigation (GI) berpengaruh terhadap hasil belajar
Geografi siswa kelas XI khususnya pada materi Sumber Daya Alam (Almarumi,
2011).
Kesimpulan dari penelitian
terdahulu tentang model pembelajaran Group
Investigation adalah model pembelajaran ini dapat meningkatkan hasil belajar, kemampuan berpikir,
pemahaman, dan prestasi belajar siswa. Penelitian ini
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berfikir kritis pada siswa kelas X IPS SMAN 1
Malang.
METODE
Jenis penelitian ini adalah
penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas meliputi empat
tahapan yaitu: perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan tindakan,
dan refleksi. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah hasil tes
kemampuan berpikir kritis setelah tindakan. Sumber data pada penelitian ini
siswa kelas X IPS SMA Negeri 1 Malang tahun ajaran 2015/2016.
Instrumen dalam penelitian
ini adalah pedomen obsevasi dan soal tes kemampuan berpikir kritis. Lembar observasi
digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan tindakan dan kemampuan berpikir
kritis siswa selama kegiatan pembelajaran. Soal tes bertujuan untuk mengukur
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa setelah dilakukan penerapan model
Grup Investigasi. Tes dalam penelitian ini meliputi tes akhir siklus I, dan tes
akhir siklus II, sementara untuk pra tindakan diperoleh melalui pre test sebelumnya yang
memuat kemampuan berpikir kritis siswa.
Pengumpulan data dilakukan
dengan cara pemberian tes. Tes dilakukan sebanyak dua kali yang meliputi tes
akhir siklus I dan tes akhir siklus II. Analisis data dilakukan dengan
membandingkan persentase kemampuan berpikir kritis yang diperoleh pada pra
tindakan, siklus I dan siklus II. Adapun tahap-tahap penelitian yang dilakukan
dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 1 : spiral
Penelitian Tindakan Kelas
( Adopsi dari
Hopkins,1993 dalam Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999: )
Data yang
diperoleh selama penelitian dianalisis secara deskriptif . Data diolah dan
diklasifikasi, agar mudah dipahami. Analisis data dilakukan selama dan setelah
pengumpulan data. Data kemampuan berpikir kritis siswa ditentukan sesuai dengan
pedoman penilaian kemampuan berpikir kritis sesuai Tabel 1.
Tabel 1 : pedoman penilaian kemampuan berpikir kritis
No
|
Kemampuan Berpikir Kritis
|
Indikator
|
1.
|
Merumuskan
masalah
|
Merumuskan
permasalahan dan memberi arah untuk memperoleh jawaban
|
2.
|
Memberikan
argumen
|
Memberikan
argumen disertai saran
|
3.
|
Melakukan
deduksi
|
Memberikan
penjelasan dimulai dari hal umum ke khusus
|
4.
|
Melakukan
Induksi
|
Membuat
simpulan terkait masalah
|
5.
|
Melakukan
evaluasi
|
Melakukan
evaluasi berdasarkan fakta
|
6.
|
Memutuskan
dan melaksanakan
|
Menentukan
solusi alternatif dari masalah untuk dapat direncanakan dan dilaksanakan
|
Sumber: Modifikasi dari Ennis (dalam
Agustina, 2012:20)
Persentase ketercapaian
kemampuan berpikir kritis menggunakan rumus sebagai berikut:
Persentase skor tiap siswa = jumlah skor tiap siswa x 100%;
jumlah skor ideal
Persentase
skor rata-rata siswa = jumlah skor seluruh siswa x 100%
jumlah skor ideal siswa
yang mengacu pada kriteria pengambilan
keputusan diadaptasi menurut
Arikunto (2000), seperti Tabel berikut
tabel 2 : kriteria
presentase kemampuan berpikir kritis
Nilai
|
Klasifikasi
|
Kualifikasi
|
86 – 100
78 – 85
60 – 77
50 – 59
<50
|
A
B
C
D
E
|
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat kurang
|
Sumber: Diolah dari
Arikunto (2000)
Peningkatan
kemampuan berpikir kritis dapat diketahui dari persentase kemampuan berpikir
kritis dari tiap-tiap indikator yang mengalami kenaikan pada setiap tindakan.
Persentase sebelum tindakan atau pra tindakan dibandingkan dengan siklus I, dan
juga siklus II, sampai ke siklus berikutnya. Peningkatan kemampuan berpikir
kritis disajikan dalam tabel dan grafik yang diperoleh dari data kemampuan
berpikir kritis siswa pada siklus I dan II.
HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Data
Sebelum penelitian
dilakukan, terlebih dahulu peneliti menganalisis hasil ulangan harian siswa
selama pembelajaran. Berdasarkan hasil ulangan harian diperoleh bahwa kemampuan
siswa dalam menjawab pertanyaaan dengan ranah berpikir tingkat tinggi masih
belum optimal. Soal pre tes
sebelum pembelajaran dibuat untuk mengukur kemampuan
berpikir kritis siswa. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai siswa masih belum
optimal, terutama dalam hal kemampuan memberikan argumen. Siswa belum bisa
memberikan alasan dan sumber yang dapat dipercaya. Selain itu, selama peneliti
mengajar, pada saat kegiatan diskusi dalam pembelajaran sebagian besar siswa
belum bisa mengeluarkan argumen-argumen dan ide-ide dengan baik terhadap kasus vulkanisme dan dampaknya
untuk kehidupan. Adapun, selama pembelajaran berlangsung, siswa masih
berorientasi pada penguasaan materi, belum bisa menganalisis permasalahan
secara riil berkaitan dengan materi pembelajaran, sehingga pembelajaran kurang
bermakana yang berdampak pada rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa. Adapun
hasil analisis berdasarkan nilai pre
test yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis siswa
seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Hasil
Tes Kemampuan Berpikir Kritis Pra Siklus
No.
|
Nilai
|
F
|
%
|
1.
|
86-100
|
1
|
4
|
2.
|
78-85
|
4
|
16
|
3.
|
60-77
|
16
|
64
|
4.
|
50-59
|
2
|
8
|
5.
|
<50
|
2
|
8
|
∑
|
25
|
100
|
Sumber : data Primer
berikut juga
disajikan ketuntasan hasil kemampuan berpikir kritis siswa pra siklus yang
tergambar dalam tabel 4
Tabel 4 : Ketuntasan Hasil
Kemampuan Berpikir Kritis Pra Siklus
No.
|
Nilai
|
F
|
%
|
1.
|
Tuntas
|
5
|
20
|
2.
|
Tidak Tuntas
|
20
|
80
|
∑
|
25
|
100
|
Sumber : data primer
Tabel 4 menunjukkan
bahwa kemampuan berpikir kritis siswa masih tergolong cukup atau masih rendah, hanya 20 % siswa yang tuntas. Kemampuan berpikir kritis dilakukan dengan penilaian individu. Pada
saat siswa diskusi maupun presentasi, observer mengamati kegiatan pembelajaran.
Masing-masing indikator berpikir kritis diamati kemunculannya pada siswa dalam
kelompok.
Pada
siklus I topik yang telah ditentukan oleh masing-masing
kelompok: 1) macam macam tenaga eksogen yang ada di Indonesia, 2) pelapukan batuan di hutan Cangar, 3) erosi daerah Batu, 4) sedimentasi sungai Brantas 5) mass wasting di daerah Pujon dan 6) pengaruh tenaga eksogen bagi kehidupan, studi khasus bantaran sungai
Banyumas. Hasil
observasi siswa tindakan siklus I dapat dilihat pada Tabel
5
Tabel 5 Rata-rata
Hasil Observasi Kemampuan Siswa Berpikir Kritis Siklus
I
No
|
Indikator
Kemampuan Berpikir Kritis
|
Rata-rata
Skor
|
Kualifikasi
|
1
|
Merumuskan masalah
|
80.00
|
Baik
|
2
|
Memberikan argumen
|
73.00
|
Cukup
|
3
|
Melakukan Deduksi
|
74.00
|
Cukup
|
4
|
Melakukan Induksi
|
75.00
|
Cukup
|
5
|
Melakukan evaluasi
|
75.00
|
Cukup
|
6
|
Memutuskan solusi
|
78.00
|
Cukup
|
Rata-rata
|
75.83
|
Cukup
|
(data primer)
Tabel 5 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam memberikan
argumen belum optimal. Terlihat berdasarkan data bahwa
persentase terendah terdapat pada kemampuan memberikan argumen dengan persentase sebesar 73.00%. Berbeda dengan
kemampuan merumuskan masalah yang mencapai persentase sebesar 80.00% dengan
kategori yang baik. Akan tetapi, secara keseluruhan hasil kemampuan berpikir
kritis siswa masih dalam kategori cukup baik. Berikut distribusi frekuensi hasil tes kemampuan
berpikir kritis siswa kelas X IPS pada siklus I yang disajikan dalam tabel 6
Tabel 6 : Distribusi
Frekuensi Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Siklus I
No.
|
Nilai
|
F
|
%
|
1.
|
86-100
|
0
|
0
|
2.
|
78-85
|
8
|
32
|
3.
|
60-77
|
17
|
68
|
4.
|
50-59
|
0
|
0
|
5.
|
<50
|
0
|
0
|
∑
|
25
|
100
|
Sumber : data primer
Berdasarkan tabel di atas tingkat kesuksesan berpikir
kritis siklus satu dapat diadaptasi dalam gambar bagan 2 sebagai berikut
Gambar 2 : kemampuan hasil tes berpikir kritis siklus
1
(sumber data
primer )
Kekurangan dalam siklus I diperbaiki
dalam siklus II, termasuk dalam proses diskusi dan presentasi dalam kelompok. Berikut
topik yang telah ditentukan sendiri oleh masing-masing kelompok: 1) faktor
pembentuk tanah,studi khasus
bahan induk 2) ciri tanah, praktikum kandungan tanah 3) jenis
tanah dan penyebarannya bagian satu,
studi khasus tanah gambut di Kalimantan 4) jenis
tanah dan penyebarannya bagian dua, studi
kasus tanah vulkanis di Batu 5) penyebab dan dampak
kerusakan tanah, studi khasus
pemanfaatan pupuk kimia 6) teraserring, usaha
untuk mengurangi kerusakan tanah.
Hasil pengukuran
kemampuan berpikir kritis individu dalam siklus II disajikan dalam Tabel 7
Tabel 7 : Rata-rata Hasil Observasi Kemampuan Siswa Berpikir Kritis Siklus II
No
|
Indikator
Kemampuan Berpikir Kritis
|
Rata-rata
Skor
|
Kualifikasi
|
1
|
Merumuskan masalah
|
90
|
Sangat Baik
|
2
|
Memberikan argumen
|
85
|
Baik
|
3
|
Melakukan Deduksi
|
85
|
Baik
|
4
|
Melakukan Induksi
|
81
|
Baik
|
5
|
Melakukan evaluasi
|
84
|
Baik
|
6
|
Memutuskan solusi
|
88
|
Baik
|
Rata-rata
|
85,5
|
Baik
|
Sumber
: data primer
Untuk
frekuensi hasil tes kemampuan berpikir kritis siklus 2 disajikan dalam tabel 8
yang selanjutnya tingkat ketuntasan berpikir kritis siklus II disajikan dalam
gambar 3
Tabel 8 : Distribusi Frekuensi Hasil Tes Kemampuan
Berpikir Kritis Siklus II
No.
|
Nilai
|
F
|
%
|
1.
|
86-100
|
6
|
24
|
2.
|
76-85
|
7
|
28
|
3.
|
60-75
|
9
|
36
|
4.
|
50-59
|
3
|
12
|
5.
|
<50
|
0
|
0
|
∑
|
25
|
100
|
Sumber : data primer
Gambar 3 : hasil kemampuan berpikir kritis siklus II
(sumber : data primer)
ANALISIS DATA
Analisis data yang dilakukan meliputi
analisis terhadap data kemampuan berpikir kritis siswa kelas X IPS SMA Negeri 1
Malang mulai dari pra siklus, siklus I, hingga siklus II. Berikut paparan
rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa beserta ketuntasan hasil
tes yang diperoleh digambarkan dalam
tabel 9:
Tabel 9 : Rata-rata Hasil Tes Kemampuan Berpikir
Kritis
Tindakan
|
Rata-Rata Hasil Tes
|
Ketuntasan Hasil Tes (%)
|
Pra Siklus
|
70,67
|
20
|
Siklus I
|
75,83
|
32
|
Siklus II
|
85,50
|
88
|
Sumber : data primer
Berdasarkan tabel tersebut, rata-rata
hasil tes kemampuan berpikir kritis dari pra siklus atau sebelum dilakukan
tindakan sampai dengan siklus II dengan menggunakan model pembelajaran GI
mengalami peningkatan. Berikut gambar grafik
peningkatannya:
Gambar 4. Grafik Peningkatan Rata-rata
Nilai Tes Kemampuan Berpikir Kritis
(sumber : data primer)
Berdasarkan grafik tersebut, tampak
bahwa nilai rata-rata tes kemampuan berpikir kritis siswa kelas X IPS SMA
Negeri 1 Malang mengalami peningkatan dari pra siklus, siklus I, hingga siklus
II. Rata-rata nilai tes kemampuan berpikir kritis dari pra siklus ke siklus I
mengalami kenaikan sebesar 6,8 %
dari rata-rata nilai 70.67 menjadi 75.83. Sedangkan rata-rata nilai tes
kemampuan berpikir kritis dari siklus I ke siklus II juga mengalami peningkatan
sebesar 11,8%, dari rata-rata nilai 75,83 menjadi 86. Berikut ini disajikan
grafik peningkatan daya serap klasikal kemampuan berpikir kritis siswa kelas X
IPS.
Gambar 5 : Grafik Peningkatan Ketuntasan
Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas X IPS
(sumber : data primer)
Berdasarkan grafik tersebut, tampak
bahwa kenaikan nilai rata-rata tes kemampuan berpikir kritis siswa diikuti pula
dengan kenaikan ketuntasan. Ketuntasan hasil tes siswa meningkat dari pra
siklus sebesar 20% menjadi 32% pada siklus I. Sedangkan dari siklus I ke siklus
II ketuntasan siswa meningkat dari siklus
I sebesar 32% menjadi 88% pada siklus II.
Penilaian kemampuan berpikir kritis
siswa juga didasarkan oleh hasil observasi yang dilakukan oleh 3 observer
melalui lembar observasi kemampuan berpikir kritis. Berikut paparan hasil
observasi kemampuan berpikir kritis siswa berdasarkan indikatornya.
Tabel 10 Rata-rata Tindakan Hasil
Observasi Kemampuan Berpikir Kritis
No
|
Indikator
Kemampuan Berpikir Kritis
|
Rata-Rata Tindakan
|
||
Pra Siklus
|
Siklus I
|
Siklus II
|
||
1
|
Merumuskan Masalah
|
-
|
80.00
|
90.00
|
2
|
Memberikan Argumen
|
-
|
73.00
|
85.00
|
3
|
Melakukan Deduksi
|
-
|
74.00
|
85.00
|
4
|
Melakukan Induksi
|
-
|
75.00
|
81.00
|
5
|
Melakukan Evaluasi
|
-
|
75.00
|
84.00
|
6
|
Memutuskan Solusi
|
-
|
78.00
|
88.00
|
Rata-rata
|
-
|
75.83
|
85.50
|
Sumber : data primer
Untuk lebih jelasnya berikut
disajikan grafik peningkatan rata-rata hasil observasi kemampuan berpikir
kritis siswa pada model pembelajaran GI dari siklus I hingga siklus II.
Gambar 6 : Grafik Peningkatan Hasil
ObservasiKemampuan Berpikir Kritis
Berdasarkan tabel dan grafik di atas
tampak bahwa rata-rata hasil observasi siswa pada pada kemampuan berpikir
kritis meningkat dari siklus I ke siklus II sebesar 75,83 ke 85,5. Sedangkan menurut
aturan skala Likert, kategori rata-rata hasil observasi pada kemampuan berpikir
kritis siswa pada siklus I adalah ”cukup” dan pada siklus II meningkat menjadi
”baik”. Hal tersebut mempengaruhi ketuntasan belajar dan juga daya serap
klasikal siswa pada tes kemampuan berpikir kritis.
PEMBAHASAN
a.
Temuan dalam
pelaksanaan Grup Investigasi
Dalam proses pelaksanaan model pembelajaran Grup investigasi peneliti
menemukan beberapa kelebihan yaitu : 1) Siswa
terlibat secara aktif pada setiap tahapan GI mulai dari penentuan topik,
perencanaan, melakukan investigasi, penulisan laporan, presentasi, hingga
evaluasi. Hal ini dapat dilihat pada hasil penilaian observasi kemampuan
berpikir kritis siswa serta hasil observasi kegiatan GI yang dilakukan oleh
guru dan juga observer. 2) Diskusi kelas (baik pada
saat diskusi identifikasi topik permasalahan maupun pada saat presentasi
kelompok) berjalan dengan lancar meskipun hanya beberapa siswa yang terlibat
aktif dalam diskusi. 3 ) Pada
saat mengerjakan tes kemampuan berpikir kritis, siswa tampak tenang dan tidak
ada yang menyontek pekerjaan teman lain
.Adanya peningkatan hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa.
Pada siklus I peneliti menemukan beberapa kekurangan dalam proses
pelaksanakan model Grup Investigasi yaitu : 1)Pembentukan anggota
kelompok secara heterogen oleh guru kurang disetujui oleh sebagian besar siswa.
Hal ini tampak dari adanya rasa ketidakyamanan beberapa kelompok pada saat
melakukan kegiatan kelompok yang berimbas pada laporan mereka. 2) Sebagian kelompok kurang
memahami apa yang harus mereka lakukan pada kegiatan GI. 3) Partisipasi siswa dalam
diskusi dan presentasi hasil akhir masih kurang, terbukti hanya beberapa siswa
yang bertanya maupun mengemukakan pendapatnya. 4)Persiapan siswa dalam
presentasi topik masih kurang, terbukti dalam kegiatan presentasi siswa membaca
penuh power point yang ditampilkan.
Saat memasuki siklus II peneliti sudah melakukan perbaikan berupa : 1)Pembentukan
kelompok dipilih oleh siswa secara mandiri namun tetap heterogen agar mereka
lebih nyaman dan lebih semangat serta fokus dalam melakukan setiap tahapan GI. 2) Menjelaskan tentang model
pembelajaran GI agar siswa benar-benar memahami setiap langkah yang akan mereka
lakukan. 3) Guru lebih fokus dalam
membimbing setiap kelompok dalam melakukan kegiatan GI agar semua kelompok
mengerjakan dengan optimal dan sesuai dengan yang diharapkan. 4) Memancing
minat siswa untuk bertanya dengan memberikan reward.
Pada pelaksanaan penelitian
pembelajaran dengan model Group Investigation (GI) di kelas X IPS SMA
Negeri 1 Malang pada siklus I dan II, diperoleh beberapa point utama yaitu : 1)
Model pembelajaran GI sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa. Karena dalam setiap tahapan GI,
mulai dari mengidentifikasi topik, melakukan perencanaan, melakukan
investigasi, menyusun laporan akhir, melakukan presentasi, hingga evaluasi,
siswa dituntut untuk senantiasa berpikir kritis dalam menyelesaikan kegiatan
investigasi mereka sesuai dengan topik atau permasalahan yang mereka ambil. 2)Peningkatan hasil tes
kemampuan berpikir kritis siswa beserta daya serap klasikal, terjadi seiring
dengan adanya peningkatan hasil observasi kemampuan berpikir kritis siswa pada
pembelajaran GI yang diketahui dari peningkatan rata-rata hasil observasi yang
diisi oleh observer. Dan yang terakhir
3)
Model pembelajaran GI sangat tepat diterapkan pada materi geografi yang
bersifat komprehensif dan kontekstual seperti materi Lithosfer dengan sub materi eksogen dan pedosfer.
b.
Kemampuan
Berpikir Kritis Siswa dengan Group Investigation
Model pembelajaran Group Investigation (GI) mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dari pra siklus, siklus I, hingga
siklus II. Hal tersebut terlihat pada nilai rata-rata tes kemampuan berpikir
kritis siswa yang meningkat dari pra siklus ke siklus I dengan rata-rata nilai
70.33 pada pra siklus menjadi 75.83 pada
siklus I. Sedangkan dari siklus I ke siklus II rata-rata nilai tes kemampuan
berpikir kritis siswa meningkat dengan nilai rata-rata 75.83 pada siklus I
menjadi 85.50 pada siklus II. Selain terjadi peningkatan rata-rata pada hasil
tes, peningkatan juga terjadi pada ketuntasan hasil tes siswa. Ketuntasan hasil
tes siswa meningkat dari pra siklus sebesar 20 % menjadi 32% pada siklus I.
Sedangkan dari siklus I ke siklus II ketuntasan siswa meningkat sebesar 32 %
dari siklus I menjadi 88% pada siklus II.
Peningkatan nilai dari pra siklus ke
siklus I tersebut disebabkan pada pra siklus atau sebelum dilakukan sebuah
tindakan, siswa belum terlatih untuk berpikir kritis pada pembelajaran
sebelumnya (berdasarkan hasil observasi). Sedangkan pada pembelajaran siklus I
siswa mulai dilatih untuk berpikir kritis melalui model pembelajaran GI. Namun
demikian hasil yang diperoleh melalui tes kemampuan berpikir kritis yang
dilakukan pada akhir siklus I, belum menunjukkan ketuntasan belajar yang
diharapkan. Hal ini karena siswa belum memahami secara keseluruhan dengan baik
tahapan-tahapan yang harus mereka laksanakan pada pembelajaran GI. Selain itu
juga pemilihan anggota kelompok oleh peneliti secara heterogen ternyata justru
membuat sebagian besar siswa tidak nyaman bekerja dengan anggota kelompoknya.
Hal ini berimbas pada kinerja kelompok, hasil diskusi dan investigasi berupa
laporan akhir, serta hasil tes kemampuan berpikir kritis.
Tahapan dalam pembelajaran GI mulai
dari mengidentifikasi topik, melakukan perencanaan, melakukan investigasi,
membuat laporan akhir, melakukan presentasi, hingga evaluasi mampu melatih
kemampuan berpikir kritis siswa seperti yang telah diuraikan pada bab II. Oleh
karena itu apabila setiap tahapannya tidak dilakukan secara maksimal, maka pada
saat tes kemampuan berpikir kritis, siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan
soal. Hal itu yang menyebabkan nilai tes kemampuan berpikir kritis siswa pada
siklus I belum mencapai ketuntasan yang ditentukan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tindakan pada siklus I belum dinyatakan berhasil dan
dilanjutkan pada tindakan siklus II dengan memperhatikan hasil refleksi dari
siklus I.
Hasil yang diperoleh pada siklus II
mengalami peningkatan yang lebih baik dari siklus I. Hal ini dipengaruhi oleh
penyempurnaan pelaksanaan pembelajaran pada siklus II berdasarkan hasil
refleksi pada tindakan siklus I. Pada pembelajaran siklus II, siswa diberi
kebebasan untuk memilih anggota kelompoknya dengan harapan kenyamanan dan
semangat kerja siswa lebih tinggi dengan anggota kelompok yang dipilih secara
mandiri. Selain itu juga siswa telah terlatih untuk berpikir kritis pada proses
pembelajaran atau pertemuan sebelumnya, terhitung mulai dari tindakan siklus I
sampai dengan akhir siklus II selama 6 kali pertemuan, sehingga mereka tidak
begitu kesulitan dalam mengerjakan soal dengan tingkat kognitif yang sama namun
beda topik.
Peningkatan hasil tes kemampuan
berpikir kritis siswa beserta ketuntasan hasil tes terjadi seiring dengan
adanya peningkatan aktivitas siswa pada pembelajaran GI. Hal ini tampak dari
prosentase hasil observasi kemampuan berpikir kritis siswa yang meningkat pada
siklus I dengan kriteria ”cukup” menjadi kriteria ”baik” pada siklus II.
Penerapan model pembelajaran GI dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis karena memiliki beberapa keunggulan,
antara lain: (1) adanya pengelompokan siswa secara heterogen, sehingga siswa
yang berkemampuan tinggi dapat membantu siswa yang berkemampuan rendah, (2)
siswa memperoleh pengetahuan atau informasi yang lebih banyak karena tidak
semua anggota kelompok memiliki pikiran atau pendapat yang sama sehingga ide
atau gagasan yang akan diperoleh lebih bervariasi, (3) melalui diskusi kelompok
dapat membantu siswa untuk menemukan jawaban yang lebih baik dan beragam, (4)
pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang dibahas dapat lebih meningkat
karena siswa terlibat langsung secara aktif dalam pembentukan pengetahuan, (5)
dalam pembagian tugas, setiap siswa mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam
kelompoknya, (6) Selain itu, GI juga melibatkan siswa menggunakan inquiry
cooperative (perencanaan dan diskusi kelompok) kemudian mempresentasikan hasil
temuan mereka di depan kelas, sehingga akan memberikan pengalaman belajar yang
menyenangkan, menekankan pada pengalaman belajar di lapangan secara aktif dan
kooperatif, sehingga siswa akan lebih termotivasi untuk menemukan masalah dan
berupaya menemukan 50 pemecahannya sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat
Sharan (1989) yang menyatakan bahwa model pembelajaran GI dapat memberikan
berbagai manfaat akademik, kemampuan berpikir, sosial dan psikologi siswa
melalui keunggulan yang dimiliki model pembelajaran ini.
Model pembelajaran GI terbukti dapat
dijadikan pilihan dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa
secara mandiri. Hal tersebut sejalan dengan teori belajar konstruktivisme
Piaget yang melandasi lahirnya model pembelajaran GI. Menurutnya, pengetahuan
merupakan hasil konstruksi pikiran manusia dari elemen-elemen informasi,
perasaan, dan pengalaman, bukan dari sesuatu yang ada di dunia luar (Sharan and
Sharan dalam McRorie, 1999). Model pembelajaran ini merupakan aplikasi dari
teori tersebut yang menekankan partisipasi dan aktivitas siswa untuk membangun
sendiri pengetahu-annya mengenai topik atau permasalahan yang mereka tentukan
sendiri berdasar-kan minat dan kesenangan masing-masing. Menurut Winataputra
(2001), setiap tahapan dalam model pembelajaran GI dirancang untuk membimbing
siswa mendefinisikan masalah, mengeksplorasi berbagai hal mengenai masalah
tersebut, mengumpulkan data yang relevan, mengembangkan dan menguji hipotesis,
serta membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan sintesis terhadap data
yang relevan. Selain itu model pembelajaran GI memungkinkan siswa bekerja dalam
kelompok sehingga penemuan terhadap masalah menjadi lebih tepat, mendalam, dan
kompleks, begitu juga dengan data yang perlu dikumpulkan melalui eksplorasi,
serta kegiatan analisis dan sintesis terhadap data yang telah dikumpulkan. Hal
ini memerlukan kemampuan tingkat tinggi
dalam artian berpikir kritis. Sehingga kemampuan berpikir kritis dan juga
kemampuan berkomunikasi inter maupun intra personal siswa menjadi lebih
meningkat melalui model pembelajaran ini.
Dalam model pembelajaran GI, siswa
pada saat belajar dalam kelompok akan berkembang suasana belajar yang terbuka
dalam hubungan pribadi yang saling membutuhkan serta demokrasi antara guru
dengan siswa, siswa dengan siswa, sehingga lebih memungkinkan pengembangan
nilai, sikap moral dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Selain itu keterbukaan
yang terjalin akan menambahkan pemahaman siswa terhadap materi yang sedang
dipelajari sehingga kemampuan berpikir kritis siswa dapat diperoleh secara
maksimal. Keseluruhan penelitian yang dilakukan, baik penelitian yang telah
dilakukan peneliti maupun penelitian terdahulu dengan varibel yang berbeda
menunjukkan bukti empiris bahwa model pembelajaran GI merupakan model
pembelajaran yang kompleks, komprehensif, dan mampu meningkatkan kualitas
siswa. Diantaranya adalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis,
berpikir kreatif, hasil belajar, aktivitas siswa, keaktifan dalam pembelajaran,
kemampuan interpersonal (kemampuan individu) dan intrapersonal (kemampuan
berkomunikasi dan bekerja sama dalam kelompok).
KESIMPULAN dan SARAN
Penerapan model pembelajaran Group Investigation (GI) mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas X IPS SMA Negeri 1 Malang.
Hal ini dapat dilihat dari nilai
kemampuan berpikir kritis siswa yang meningkat dari pra siklus ke siklus I dan ke
siklus II. Saran yang diberikan
oleh peneliti adalah 1) Pembentukan kelompok
hendaknya dipilih sendiri oleh siswa secara mandiri namun tetap heterogen. Hal
ini agar mereka merasa lebih nayaman dan lebih semangat untuk mengikuti setiap
tahapan pembelajaran dengan menggunakan model GI. 2)Langkah-langkah pada model pembelajaran GI
hendaknya dijelaskan secara detail. Hal ini agar siswa benar-benar memahami
setiap langkah-langkah yang akan mereka lakukan, mengingat bahwa model
pembelajaran GI masih jarang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. 3)Guru lebih focus dalam
membimbing kelompok dalam melakukan langkah-langkah model pembelajaran GI. Guru
berkeliling pada masing-masing kelompok untuk memantau aktivitas siswa dalam
investigasi agar siswa dapat mengerjakan secara optimal dan sesuai dengan yang
diharapkan.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto,
Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Bumi Aksara
Dewi, Nova. 2013. Penerapan
Metode Pembelajaran Koperatif Model Group Investigation (GI) untuk Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa terhadap Mata Pelajaran Sejarah di SMP 06
Malang Kelas VIII 2. Skripsi Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang:
Tidak Diterbitkan
Ennis, Robert. H. 2002. An Outline Of Goals for A Critical Thinking Curriculum and Its Assesment, (Online), (http://www.criticalthinking.net/goals.html, diakses tanggal 28 September 2015
Fajarwati, Sri Handayani. 2010. Pembelajaran Kontekstual Pola Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan
(PBMP) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Fisika
Siswa Kelas X.1 SMAN 1 Tumpang. Skripsi Jurusan Pendidika Fisika FMIPA
UM:Tidak diterbitkan.
Fatchan,
Ahmad & I Wayan Dasna. 2009. Metode
Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Jenggala Pustaka Utama
Fisher,
Alec. 2009. Berpikir Kritis Sebuah
Pengantar. Jakarta: Erlangga
Handoyo,
Budi. 2012. Kompetensi Mata Pelajaran
Geografi SMA Masalah dan Pengembangannya (Sebuah Kajian Reflektif)).
(online). (http://hangeo_ another_WordPress.com_site.htm). Diakses tanggal 24 September
2015.
Handoyo,
Budi. 2012. Pendidikan geografi indonesia
dalam perspektif lintas negara (sebuah studi pendahuluan: tujuan, struktur dan
ruang lingkup. (online). (http://hangeo.WordPress.com_site.htm). Diakses
tanggal 24 September 2015.
Johnson,
David W, dkk. 2007. Cooperative Learning
Methods: A Meta-Analysis. (online). (http://university.of.minneosta/clmethods-meta-analysis.pdf). Diakses tanggal 24 Juni
2015.
Latipah, Eva. 2012. Pengantar Psikologi Pendidikan. Yogjakarta: PT. Pustaka Insan
Madani.
McRorie,
Karen. 1999. The Playground Project: A
Case Study in Participatory Design. Thesis. Canada. University of Windsor
Nurhai,
dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang:
Penerbit Universitas Negeri Malang.
Nuri Megawati, Candra. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Group Investigation terhadap Kemampuan
Berpikir Kreatif Siswa pada Mata Pelajaran Geografi Kelas X di SMA Negeri 1
Batu. Skripsi Jurusan Geografi Universitas Negeri Malang: Tidak Diterbitkan
Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang
Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah .
Pritasari,
Ajeng Desi Crisandi. 2011. Upaya Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI IPA 2 SMAN 8 Yogyakarta pada
Pembelajaran Matematika melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Group
Investigation (GI). (online), (http://eprints.uny.ac.id/2384/1/skripsi_(ajeng_desi-07301241049.pdf). Diakses 24 Juni 2015.
Rochmawati, Rezki. 2013.
Penerapan Model Pembelajaran Group
Investigation (GI) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VIII F
SMP Negeri Kawedanan Magetan. Skripsi Jurusan Biologi Universitas Negeri
Malang: Tidak Diterbitkan
Shara, Yael and Sharan, Shlomo. 1989. Group Investigation Expands Cooperative
Learning. Educational Leadership,
(Online), 47 (4): 17-21, (asdc.org), diakses 28 September 2015.
Sumarmi.
2012. Model-Model Pembelajaran Geografi. Malang: Aditya Media
Publishing.
Susil, Herawati, dkk. 2011. Penelitian Tindakan Kelas: Sebagai Sarana
Pengembangan Keprofesionalan Guru dan Calon Guru. Malang: Bayumedia
Publishing
Syifa’,
Miftakhu. 2010. Problem Based Learning
(PBL) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Pada Siswa Kelas X-9 SMA
Negeri 1 Tumpang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Pendidikan
Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang.
Winattra.
2001. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka
Zingo,Daniel.
2008. Group Investigation: Theory and Practice, (Online),
(www.danielzingaro.com), diakses 26 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar