karya ini saya ambil utuh dari saudara Teguh Budiharso, Universitas Mulawarman yang diterbitkan oleh harian Lingua, Volume 12, Nomor 1, Maret 2015, Halaman 139-156. terimakasih yang sebesar besarnya pada beliau karena telah memberikan sepercik cahaya dibalik kebenaran sejarah kota Trenggalek. bagi yang ingin mengutip jangan lupa mencantumkan sumbernya ya. .
MELURUSKAN SEJARAH
TRENGGALEK KOTA GAPLEK:
STUDI HEURISTIK FOKLOR PANEMBAHAN BATORO KATONG,
JOKO LENGKORO DAN
MENAK SOPAL [1]
Abstract: This study is
aimed at describing toponymy of Trenggalek emphasizing on identification of
local foklor about Batoro Katong, Joko Lengkoro and Menak Sopal. This study uses qualitative approach
assigning heuristic and phenomenology as the method of inquiry. Primary sources such as documents on the
foklor, babad, inscriptions, and sites of history were analyzed. Indepth analyses pertaining to the
exploration using indepth interview and discussion were conducted involving
various informants. This study reveals
that Trenggalek derived from Galek,
identifying a city that produced gaplek.
Since early Matarm, gaplek had been produced in Trenggalek. In support to the name, Galek has been
interpreted as the identity of “terang” and “galih” aspiring that Galek has
received greatness of the King in Demak.
Trenggalek did not exist in the era of Mataram, Majapahit, Demak, and
Pajang Kingdom as a regency, however, its status as sima parashima, received
since King Sindok in 929 AD up to Majapahit ruling indicated that Trenggalek
was a prominent area. To some extents,
Trenggalek has received discrimination in the government administration but the
history remains to promote the legacy of Trenggalek as an autonomy regency.
Key-words: Trenggalek, toponymy, King Sindok.
Tulisan ini
mengkaji seara kritis sejarah Trenggalek berdasarkan studi heuristik tiga
cerita tutur baik lisan, babad, maupun manuskrip mengenai Panembahan Batoro
Katong Ponorogo, cerita tutur Joko Lengkoro atau Mbah Kawak, dan cerita turur
Menak Sopal. Sejauh yang bisa
ditelusuri, sumber sejarah Trenggalek tertulis baru berupa cerita mengenai
Menak Sopal yang melegenda dan dianggap sebagai Bupati Trenggalek yang pertama,
pahlawan petani, dan penyebar Islam pertama di Trenggalek.
Secara umum, sejarah Trenggalek
banyak didasarkan pada cerita tutur yang berpangkal pada cerita Menak Sopal (1498-1568) yang hidup pada zaman Sultan Hadiwijoyo (1549-1582) bertahta di Pajang Kartasura
sekarang. Kisah ini diinterpretasi oleh
banyak pihak menggunakan berbagai versi dan melahirkan cerita sejarah yang
simpang siur. Pemerintah
Kabupaten Trenggalek sendiri juga “kurang peka”
pada situasi ini sehingga sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Trenggalek lebih
berpatokan pada cerita dongeng sebagai rujukan sejarah Trenggalek. Interpretasi
yang muncul di blog baik situs resmi Pemkab Trenggalek maupun blog pribadi juga
tidak bisa dijadikan rujukan. Padepokan
Dewadaru misalnya dalam blognya menjelaskan kata Trenggalek sebagai lintang
trenggono yang hilang dan jatuh di wilayah Trenggalek. Trenggono dipersepsikan sebagai Sultan Demak
terakhir sebelum Demakruntuh dan dipindahkan ke Pajang oleh Joko Tingkir atau
Sultan Hadi Wijoyo, menantu Sultan Trenggono.
Satu-satunya
buku sumber yang memiliki bobot ilmiah cukup ialah Babon Sejarah Trenggalek
yang disusun pada 1982 oleh tim penyusun sejarah Trenggalek bersama-sama
konsultan sejarah dari IKIP Malang.
Babon Sejarah Trenggalek ini memuat keterangan yang akurat pada sisi
tertentu. Secara panjang lebar, penulis
sejarah Trenggalek, termasuk Pemkab
Trenggalek, blogger, dan penulis lain mendasarkan pada uraian
tersebut. Dengan bangga, mereka mengutip
deskripsi sejarah Trenggalek dikelompokkan ke dalam tiga periodisasi:
pra-sejarah, perdikan, dan keemasan.
Trenggalek
dibanggakan sebagai daerah yang cukup tua dalam sejarah tetapi para penulis
menjadi tidak kritis ketika Trenggalek disebut sebagai daerah “di bawah
naungan” wilayah lain. Penulis yang
dengan bangga menyebut Trenggalek sebagai bagian Tulungagung ialah yang
menyebut dirinya Siwi Sang. Penulis lain akhirnya cukup mengamini saja
bahwa sejarah Trenggalek “tidak
mandiri” tetapi menjadi bagian dari Tulungagung.
Tulisan ini dimulai dari fakta
sejarah tentang keberadaan Trenggalek, dan pelurusan beberapa pernyataan yang
bisa menjadi stikma. Diharapkan pemangku
kebijakan bisa menyusun alur sejarah Trenggalek yang baku agar cerita yang
disusun setelahnya oleh siapapun tidak simpang siur dan tidak membingungkan
generasi penerus.
Jika Bung Karno Presiden Pertama
RI mengatakan Jasmerah! Jangan Melupakan sejarah, para ahli sejarah mengatakan: “Untuk
menghancurkan suatu bangsa, lakukanlah tiga hal: Pertama, kaburkan sejarahnya;
Kedua, hancurkan peninggalan sejarah yang ada; dan Ketiga: putuskan hubungan
generasi sekarang dengan leluhurnya.” Hakikat pesan tersebut ialah, bangsa yang
tidak mencintai sejarah akan melalaikan riwayat perjuangan pahlawan dan
leluhurnya.
Sejauh ini,
kaberadaan Trenggalek telah dianggap sebagai hadiah dari Tulungagung dan
“kemurahan hati” melalui “pitulungan agung” sesuai makna Tulungagung sebagai
“murah hati dan memberi pertolongan yang maha luas.”
Klaim tersebut
tampaknya diterima saja secara aklamasi dan tidak ada upaya pembuktian benar
salahnya klaim tersebut. Tulisan ini
telah membuktikan penelusuran sejarah sejak Mataram Kuno sampai Surakarta bahwa
Trenggalek sepenuhnya ialah daerah otonom.
Bahkan belum ada kota atau wilayah lain yang mendapat status
sima-parasima atau daerah otonom untuk seluruh daerah yang merupakan wilayah
kota. Daerah Trenggalek 100% sejak zaman
sejarah kuno memperoleh status daerah bebas pajak atau daerah otonom. Sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa
Tulungagung sekarang sebagian wilayahnya
ialah pemberian
dari Trenggalek, Blitar, dan Nganjuk.
Dalam sejarah
Indonesia, status otonom untuk suatu desa atau daerah swatantra diberikan oleh
raja karena masyarakat daerah tersebut telah berjasa luar bisaa kepada
raja. Daerah otonom diberikan secara
turun temurun dan tidak bisa dibatalkan kecuali daerah tersebut melawan
raja. Fungsi daerah otonom pada umumnya
ialah daerah yang terkait dengan pemujaan para dewa, pertahanan, dan memuliakan
leluhur raja. Daerah sima diberi kewenangan
mengelola sendiri pajak bumi, pajak perdagangan, dan pajak lain untuk digunakan
oleh masyarakat di wilayah daerah otonom tersebut. Dengan demikian, Trenggalek telah menjadi
daerah merdeka dan mandiri sejak zaman Raja Sindok.
Fakta ini
membuktikan bahwa Trenggalek sudah mandiri sejak zaman Kuno, sehingga tidak
benar bahwa Trenggalek merupakan wilayah pemberian daerah lain. Justru wilayah
Trenggalek tetap bersatu utuh walaupun dalam politik telah dipecah-pecah
beberapa kali. Barangkali tuah daerah
sima-parasima yang diberikan raja-raja besar antara lain: Raja Sindok, Raja Airlangga,
Raja Srenggo, Raja Wikramawardana dan Raja-Raja Surakarta tetap menjadi
pengikat yang amat kuat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif menggunakan metode heuristik dan fenomenologi. Metode heuristik mengacu pada penelitian
sejarah dan fenomenologi merujuk pada penelitian budaya atau etnografi. Aspek kebahasaan dikaji menggunakan
pendekatan analisis wacana. Penelitian sejarah membagi empat tahap, yaitu
menemukan informasi sejarah dari sumber-sumber sejarah, seperti: museum, perpustakaan, arsip resmi dan arsip
pribadi. Setelah itu, informasi tersebut
diuji menggunakan kritik internal dan kritik eksternal, misalnya keaslian
dokumen dan kualitas isi. Tujuan kritik
ialah menyeleksi data menjadi fakta.
Data ialah semua keterangan atau bahan; fakta ialah bahan yang sudah
lulus diuji menggunakan kritik. Setelah fakta terkumpul, fakta ditafsirkan dan
dirangkai secara logis. Setelah itu,
dilakukan historiografi atau penulisan sejarah untuk merangkai fakta-fakta
menjadi kisah sejarah (Abdillah, 2012:29-30).
Masalah penelitian ini memiliki
aspek-aspek historis yang harus diungkap sehingga penelitian ini juga
menggunakan metode Historical Sociology
of mentality (Sosiologi Sejarah Mentalitas). Data utama penelitian ini ialah informasi
yang dikumpulkan dari situs sejarah di Trenggalek, di antaranya Makam Menak
Sopal, Makam Mbah Kawak atau Joko Lengkoro, Dam Bagong, babad Ponorogo, naskah
tertulis Cerita Menak Sopal, manuskrip keraton Surakarta dan Keraton
Yogyakarta, dan informan. Dokumen
tersebut dikaji dan dibandingkan dengan dokumen sekunder yang meliputi
tulisan-tulisan di blog tentang Sejarah Trenggalek, dan berbagai naskah seperti
Negara Kartaggama, Pararaton, Prasasti Kampak, Prasasti Kamulan, dan Babon
Sejarah Trenggalek. Tahap selanjutnya adalah menggali dan mengumpulkan data
dari para informan melalui wawancara mendalam (indepht interview) dan tak
terstruktur (open-ended discussion).
Data yang terkumpul dibuat kompilasi tematik. Data dipilah-pilah ke dalam
sub-sub tema yang merupakan bagian-bagian dari tema umum penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tafsir Asal-Usul Nama Trenggalek
Bagaimanakah
asal-usul kata Trenggalek? Kata
Trenggalek sejauh ini dianggap berasal dari kata “terang” dan “gale”, diartikan
sebagai terang ing galih dan sering
dikontraskan dengan makna Tulung Agung.
Trenggalek diaartikan sebagai daerah yang memperoleh karunia melalui
hati yang jernih, dan Tulungagung dianggap sebagai orang yang “memberi
pertolongan besar”.
Menurut manuskrip Kraton Kasunanan
Surakarta, kata Trenggalek secara sederhana ialah kota gaplek. Daerah penghasil gaplek. Menurut manuskrip tersebut, nama Galek sudah
muncul pada zaman Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah Wawa
(924-928). Kata Trenggalek digunakan
untuk menunjukkan daerah penghasil gaplek, ketela pohon yang dikeringkan. Gaplek pada zaman itu merupakan makanan rakyat
jelata tetapi sekaligus hidangan khusus di kraton. Gaplek
diolah menjadi karak, dimasak seperti masak beras dan dihidangkan bersama-sama
dengan air gula merah. Jenis gaplek yang
digunakan ialah gaplek yang “terang” berwarna putih bersih. Daerah penghasil gaplek jenis ini ialah
kecamatan Bendungan, Kampak,
Munjungan, Panggul, Pule, dan Watulimo. Di antara daerah tersebut, gaplek dari Bendungan di lereng gunung Wilis dianggap yang paling unggul. Dari
sebutan gaplek yang berasal dari ketela yang “terang” lama-lama berubah menjadi
“Trenggalek”. Kata Trenggalek kemudian
dipopulerkan di antaranya dalam tembang dan wangsalan, seperti: “Pohung garing, ayo mampir menyang Trenggalek.”
Pohong garing artinya gaplek (Purwadi, 2009:23).
Sri Susuhunan Pakubuwana II, raja terakhir Kasunanan Kartasura (1726–1742) dan raja pertama Kasunanan Surakarta (1745–1749), ialah raja yang berjasa menggunakan
nama Trenggalek secara resmi dalam administrasi pemerintahan. Selain itu, hidangan karak gaplek ini hingga
zaman Sinuwun Paku Buwono II masih
terus ditradisikan. Pada 2014 ini, menu karak gaplek Bendungan juga masih digunakan
dalam jamuan khusus, disertai dengan kopi asli Bendungan dan gula kelapa dari
Watulimo. Asal-usul kata Trenggalek
yang lain diperoleh melalui cerita tutur. Pertama,
cerita tutur ketika Penembahan Batoro
Katong menjadi Adipati Ponorogo pada
1489-1532, menyebutkan Trenggalek sebagai daerah penghasil gaplek. Dikisahkan, Menak Sopal melakukan kesalahan
dan mendapat hukuman agar bermukim di daerah penghasil gaplek dengan mengabdi
pada Ki Ageng Joko Lengkoro di
daerah Bagong Kecamatan Ngantru Trenggalek kota sekarang.
Kedua, versi lain mengenai asal-usul
kota Trenggalek diperoleh dari cerita tutur dari pinisepuh yang tinggal di
Trenggalek. Menurut pinisepuh tersebut,
kata Trenggalek berasal dari kata “sugal” yang berarti kasar dan
“elek”. Sugal-elek menghasilkan kata galek; yang
berkonotasi masyarakat Trenggalek suka berperilaku “kurang baik” atau
jelek. Sejak zaman rajaraja, Trenggalek
ialah bagian dari Wengker bagian Timur, yang terkenal sebagai tempat para pertapa,
dan kumpulan black magic. Daerah Kampak, Munjungan, Panggul, Prigi,
Bendungan dianggap representasi makna tersebut walaupun sekarang mengalami
penurunan makna.
Uraian di atas
menunjukkan bahwa kata Trenggalek, yang lebih dekat diartikan dengan daerah
penghasil gaplek. Asal-usul nama atau
toponimi biasanya diperoleh secara praktis.
Contoh lain, ketika Sinuwun Paku Buwono II (1726-1749) dikejar pasukan Sunan Kuning beliau melarikan diri ke
arah Ponorogo. Ketika sampai di suatu
tempat, beliau merasa haus dan minta air kepada seorang penduduk. Setelah minum air tersebut, beliau berkenan
dan menanyakan kepada si pemberi: “Air
apa ini kok rasanya segar?”. “Ini air
badeg Gusti” jawab penduduk tersebut. “Kalau
begitu, daerah ini saya beri nama Badegan”, lanjut Sinuwun. Badegan ialah daerah kecamatan di wilayah
Sumoroto Ponorogo barat perbatasan dengan Purwantoro Wonogiri.
Makna kata
Trenggalek menurut penelusuran sejarah ini juga mengingatkan bahwa sejak semula
Trenggalek ialah penghasil gaplek. Artinya daerah berbasis pertanian ketela. Karena itu, ada baiknya Trenggalek
merevitalisasi lagi potensi ekonomi gaplek tersebut. Mengenai makna yang dikaitkan dengan terange penggalih, begitu juga “sugal dan elek” karena tidak
memiliki akar sejarah, cukup dijadikan penjelasan tambahan mengenai cerita
asal-usul kata Trenggalek.
Trenggalek Daerah Perdikan Sepanjang Zaman
Status
Trenggalek sebagai daerah bebas pajak, atau sima swatantra atau daerah otonom,
pertama kali muncul zaman Raja Sindok (929-947) yang dikukuhkan dalam Prasasti
Kamsyaka atau Prasasti Kampak (929) dan dilanjutkan oleh Raja Airlangga
(1019-1045) melalui Prasasti Baru (1030), Raja Kediri Prabu Srenggo (1182-1222)
dalam Prasasti Kamulan (1194), dan raja Majapahit Prabu Wikramawardhana
(1390-1428) melalui piagam yang dipahatkan di arca dwarapala yang ditemukan di
Bendungan.
Prasasti Kamsyaka atau Prasasti
Kampak yang dikeluarkan Raja Sindok pada 929 menetapkan daerah Kampak sebagai
daerah sima swatantra. Menurut prasasti tersebut, wilayah daerah perdikan
Kampak meliputi: Dongko, Munjungan, Panggul, Watulimo, Prigi dengan pusat
pemerintahan di Desa Gandusari Sekarang. Selain wilayah Kampak merupakan tempat
peribadatan memuja Dewa karena berdekatan dengan Laut Selatan, wilayah Kampak
juga disebut sebagai daerah penghasil gaplek.
Dr. Brandes antara lain mengatakan
bahwa prasasti Kampak merupakan tanda pemberian hadiah dan mendapatkan hak
istimewa bagi tanah yang diberikan tadi. Tanah yang sangat dimuliakan ialah
tanah dari Bharata i Sang Hyang Prasada
Kabhaktian i Pangarumbing yang i Kampak. Pada prasasti ini terdapat
kata-kata mangraksa kadatuan Cri Maharaja i Ndang i Bhumi Mataram.
Diperkirakan prasasti itu ditulis pada tahun 851 caka atau 929 Masehi. Baris ke
6-9 dan baris ke 13 berbunyi:
6.
(ring ra) hina ring wngi addenge a ----------------
samaya sapatha sumpah pamangmang mami ri kita hiyang kabeh. Yawat ika nang
ngwangduracara, tan magam tanmakmit i
7.
Rikang saptha si hatan sa-----t kudur ----- hadyan
hulun matuharare, laki-laki wadwan, wiku grahastha muang patih wahuta rama,
nayaka parttaya
8.
--------- lahu(aha) ikeng lmah sawah ------ i kampak
simainarpanakan dapungku i manapunjanma, i bhatara i sang hyang prasada
kabhaktiyan i pangurumbigyan i
9.
Kampak wabakataya nguniweh da ---------- ta
–sa(ng)hyang watu sima tasmat kabuataknanya, patyanantaya kamung hyang
deyantatpatiya tattanoliha i wuntat
13. ----- wuk k(i)dul kuluan waitan,
wuangakan ringasalambitakan ing (h)yang kabaih, tibakan ri(ng) mahasamudra,
klamakan ring dawuhan, alapan sang hyang ja 15
Mataram Kuno mengalami zaman
keemasan ketika Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910) bertahta dengan
pusat pemerintahan di Begelen, Purworejo, Daerah Kedu, Jawa Tengah. Wilayah
kerajaan meliputi seluruh Jawa Tengah, seluruh Jawa Timur dan Bali. Sejak pemerintahan Dyah Balitung,
pengembangan wilayah ke Jawa Timur bahkan Bali sudah dilakukan. Jadi, identifikasi daerah Kampak sebagai
daerah penting dan kemudian dijadikan daerah perdikan bukanlah hal yang
aneh.
Periode kedua wilayah Trenggalek
diberi kedudukan daerah sima swatantra ialah pada zaman Raja Airlangga.
Pemberian ini tercatat dalam Prasasti Baru (1030). Desa Baruharjo, kecamatan Durenan Trenggalek
diberi status sima karena masyarakat telah memberi penginapan dan membantu raja
dan pasukannya ketika akan menyerang raja Hasin. Hasin sekarang ialah Ngasinan,
Desa Kelutan Kabupaten Trenggalek.
Perdikan ketiga diberikan oleh
Raja Srenggo dari Kediri yang memberi status otonom untuk desa Kamulan pada
1194. Prasasti itu jelas menyebutkan
wilayah Kamulan meliputi lereng gunung Wilis mulai dari lereng Kalang Barat
(Kalangbret), gunung rajeg wesi, Semarum, Durenan, bukit Tumpak Uyel, Setono,
Parakan, Pogalan, Bendo, Ngetal, Tugu, Tenggaran Pule, dan Tangkil kecamatan
Dongko. Prasasti ini menjelaskan bahwa
perbukitan di wilayah Tulungagung sekarang yang dijadikan makam para Bupati
Tulungagung ialah wilayah perdikan Kamulan.
Jika digabung dengan wilayah dalam prasasti Kampak, hampir seluruh
wilayah Kabupaten Trenggalek tahun 2014 saat tulisan ini dibuat sudah merupakan
wilayah perdikan Trenggalek.
Ketika perang Paregreg (1401-1406)
antara Prabu Wikramawardhana melawan Prabu Wirabumi di Blambangan meletus,
perang dimenangkan Prabu Wikramawardhana dan pasukan Wirabhumi takluk terakhir
kali di
Bendungan. Sebagai penghargaan atas Bendungan, prabu
Wikramawardhana menetapkan kecamatan Bendungan sampai kecamatan Tugu, Karangan
dan Pule sebagai daerah sima swatantra.
Lempengan prasasti di patung yang
sekarang ditempatkan di depan kantor kecamatan Bendungan menjelaskan bahwa
daerah Bendungan, sampai wilayah Bagong ditetapkan sebagai daerah sima
swatantra. Kecamatan Bendungan ialah
lereng gunung Wilis bagian barat, berbatasan dengan Kecamatan Pulung
Ponorogo. Jalur ini merupakan jalan pintas
dari gunung Wilis menuju Wengker dan lewat jalur inilah Menak Sopal datang ke
desa Bagong Trenggalek ketika diperintahkan oleh Panembahan Batoro Katong agar
mengabdi pada Joko Lengkoro di Galek.
Joko Lengkoro kemudian terkenal sebagai Mbah Kawak.
Batoro Katong memerintah di
Ponorogo pada 1489-1532, sejak Raden Patah Sultan Demak (1478-1518) sampai awal
pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546).
Menak Sopal sendiri tercatat tahun meninggalnya di nisan pemakaman
Bagong dengan candra sengkolo: “Sirnaning
puspita cinatur wulan”, 1490 saka atau 1568 M. Menak Sopal berusia 70 tahun karena ketika
diajak menghadap Batoro Katong oleh gurunya beliau berusia 18 tahun, jadi Menak Sopal lahir pada 1498. Menak Sopal hidup pada zaman pemerintahan
Sultan Prawoto Demak (1546-1549) dan Sultan Hadiwijoyo di Pajang
(1549-1582). Siapa Joko Lengkoro? Joko Lengkoro ialah anak Prabu Brawijaya
V Kertabumi dan adik Batoro Katong. Joko
Lengkoro yang diberi daerah lungguh di perdikan Bagong, kemudian disebut Ki
Ageng Galek yang ditugasi merawat Dewi Amisayu putra Brawijaya V yang terkena
sakit berbau amis. Dewi Amisayu kemudian
disembuhkan oleh Menak Sopal.
Jika prasasti
Kampak, prasasti Baru, prasasti Kamulan dan lempeng arca di Bendungan
digabungkan, maka seluruh wilayah Trenggalek sekarang ialah wilayah daerah
perdikan sejak zaman Raja sindok. Daerah
sima parasima diberikan oleh raja bersifat turun-temurun dan hanya bisa
dibatalkan apabila daerah tersebut memberontak kepada raja. Daerah sima yang pernah diberikan oleh raja
sebelumnya, dihormati sekali oleh raja berikutnya walaupun berbeda dinasti
sehingga status sima swatantra, atau daerah otonom melekat terus.
Trenggalek
sebagai daerah Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati, secara resmi
digunakan pada zaman Sinuwun Paku Buwono II.
Saat itu, Sinuwun Baku Buwono II mengangkat Kanjeng Raden Tumenggung
Sumotaruna sebagai Bupati Trenggalek pertama pada 1743. Sejak perjanjian Giyanti 1755 ketika Pangeran
Mangkubumi memberontak wilayah kerajaan dibagi dua: wilayah kerajaan Surakarta
di bawah pemerintahan Sunan Pakuwono dan wilayah kasultanan Yogyakarta di bawah
pemerintahan Sultan Hamengku Buwono. Akibatnya, Kabupaten Trenggalek dihapuskan
dan wilayahnya digabungkan dengan Ponorogo, Pacitan, dan Tulungagung. Inilah kiranya penyebab munculnya spekulasi
bahwa Trenggalek diklaim sebagai bagian dari daerah Tulungagung. Bagian ini akan dibahas khusus pada bab
selanjutnya.
Trenggalek secara Kronologis
Sejarah
Trenggalek zaman kerajaan Mataram Kuno sampai kerajaan Kartasura dan Surakarta
sekilas sudah dibahas pada bagian pertama.
Bagian ini akan memberi penekanan pada hal-hal yang terkait dengan
penjelasan berikutnya.
Penelusuran
Prasasti sejak Raja Sindok, Raja Airlangga, Raja Srenggo, dan Raja
Wikramawardana dengan tegas menunjukkan bahwa secara yuridis formal, wilayah
Trenggalek seluruhnya seperti yang ada sekarang ini ialah wilayah sima
parasima, daerah bebas pajak yang
dipimpin oleh Mentri Ketandan. Raja Sindok (929) memberi status Perdikan
Kampak, Raja Airlangga (1032) memberi daerah Perdikan Baruharjo kecamatan
Durenan, Raja Srenggo (1194) memberi status perdikan Kamulan, dan Raja
Wikramawardhana (1406) memberi status Perdikan Bendungan.
Zaman Raja Sindok menegaskan bahwa
wilayah Trenggalek sudah diperhitungkan sejak zaman Mataram Kuno berpusat di
Kedu dan Yogyakarta sebagai bagian dari Wengker Ponorogo. Zaman Airlangga sebagai generasi terakhir
Raja Sindok, menegaskan wilayah Trenggalek sebagai daerah penting. Zaman Raja Srenggo di Kediri, menegaskan
bahwa Trenggalek ialah wilayah penting Kediri sehingga daerah sepanjang lereng
Gunung Wilis mulai lereng gunung Kalang Barat, Rajeg Wesi, Kamulan, Semarum,
Pogalan, Ngetal, Karangan, dan daerah kota Trenggalek merupakan daerah
otonom. Prabu Kertawardhana raja
Majapahit setelah Prabu Hayam Wuruk mangkat melanjutkan kebijakan ini dengan
memberi hak otonomi bagi daerah Bendungan lereng Gunung Wilis bagian Barat, perbatasan dengan Kecamatan Palung, Wengker,
Ponorogo. Wilayahnya meliputi: kecamatan Tugu, Kecamatan Pule, dan Tangkil
perbatasan dengan Pacitan. Data empiris
ini menegaskan bahwa wilayah Trenggalek telah ada secara terus-menerus dari
pemerintahan Mataram, Kahuripan, Kediri, Singasari, Majapahit, Mataram, Pajang,
dan Surakarta. Wilayah itu memiliki
keunggulan penghasil gaplek, sehingga disebut Galek atau Trenggalek. Sebutan itu sudah ada sejak Raja Sindok menjadi
Raja Medang yang berkedudukan di Jombang (929).
Secara resmi, kata Trenggalek
digunakan dalam administrasi pemerintahan dilakukan oleh Sinuwun Pakubuwono II
raja Kartasura dan raja Surakarta, saat beliau mengangkat KRT Sumotaruno
sebagai adipati pertama di Trenggalek pada 1743. Dalam administrasi pemerintahan modern,
Trenggalek ditetapkan hari jadinya berdasarkan Prasasti Kamulan yang
dikeluarkan Raja Srenggo Kediri, yaitu: Rabu Kliwon, 31 Agustus 1194. Jadi, hingga 2014, Trenggalek sudah berusia
820 tahun. Jika dihitung berdasarkan
Prasasti Kampak (929) Trenggalek pada 2014 sudah berusia 1.085 tahun. Periksa Tabel 1.
Penggabungan Trenggalek dengan Tulungagung
Status dan wilayah Trenggalek
mengalami pemisahan dan penggabungan, karena itu, Trenggalek dianggap lebih
muda dari Tulungagung. Pernyataan itu
tidak tepat, karena Trenggalek sudah ada jauh sebelum Tulungagung tercatat
dalam prasasti. Namun secara politik, Trenggalek mengalami pasang surut bahkan
sempat dimasukkan dalam wilayah Tulungagung dan wilayah Pacitan.
Tabel 1.
Kronologis Sejarah Trenggalek sejak zaman kerajaan.
No
|
Tahun
|
Peristiwa
Sejarah
|
1
|
929
|
Prasasti
Kamsyaka/Kampak dikeluarkan Raja Sindok. Mengesahkan daerah Kampak,
Munjungan, Panggul, Watulimo sebagai daerah otonom bebas pajak.
|
2
|
1032
|
Prasasti
Baru dikeluarkan Raja Airlangga; prasasti memberi status sima parasima untuk
Desa Baruharjo Durenan sekarang karena masyarakat membantu pasukan raja saat
menyerbu ke Raja Hasin di Ngasinan, Kelutan.
|
3
|
1194
|
Prasasti
Kamulan dikeluarkan Raja Srenggo Kediri; prasasti memberi status daerah
otonom di Kamulan, Lereng Gunung Cilik Kalangbret, Semarum, Pogalan, Parakan,
Tugu, Pule dan Tangkil perbatasan Pacitan.
|
4
|
1478-1489
|
R
Joko Lengkoro atau Mbah Kawak adik Betoro Katong putra Brawijaya V diberi
daerah lungguh di desa Bagong Trenggalek.
|
5
|
1528
|
Batoro Katong memberi gelar Demang untuk Ki
Aeng Posong di Pacitan, Demang Surohandoko di lereng Wilis dekat Bandungan,
dan Menak Sopal di Bagong membantu Joko Lengkoro.
|
6
|
1743
|
Sinuwun Paku Buwono II mengangkat KRT
Sumotaruno sebagai Bupati I Trenggalek.
|
7
|
1755
|
Nama Kabupaten Trenggalek dicatat sebagai
daerah Mancanegara Kasunanan Surakarta.
|
8
|
1755-1830
|
Trenggalek
digabung wilayahnya dengan Ponorogo dan Pacitan; Trenggalek dipimpin
“pengageng Trenggelek” keturunan Joko Lengkoro bernama Singonegoro.
|
9
|
1845
|
Trenggalek dikembalikan sebagai daerah
otonom berdasarkan SK Gubernur Jendral Hindia Belanda di bawah pengawasan
Asisten Residen Trenggalek.
|
10
|
1885
|
Keluar Staatsblad van Nederlandsch dan SK
Gubernur
Hindia Belanda 30 Mei 1885 tentang batas
wilayah
Trenggalek dan Toelong Ahoeng. Kabupaten
Ngrowo dan Kabupaten Kalangbret disatukan menjadi Toeloeng Ahoeng.
|
11
|
1885-1932
|
Trenggalek
dipimpin Bupati dan Patih; wilayah yang digabung dengan Pnorogoro dan Pacitan
disatukan kembali.
|
12
|
1933
|
Bupati
Poesponegoro wafat dan Trenggalek dihapuskan untuk digabungkan dengan
Tulungagung.
|
13
|
1950
|
Trenggalek
dijadikan daerah otonom lagi dan semua wilayah dikembalikan lagi seperti
sekarang.
|
Pada 1743, ketika KRT Sumotaruno
diangkat Bupati Pertama di Trenggalek, wilayah Trenggalek meliputi wilayah yang
sekarang. KRT Sumataruno ialah putra Adipati Ponorogo yang berjasa mendampingi
Sinuwun Paku Buwono II selama di pengasingan di Ponorogo saat pemberontakan
Sunan Kuning meletus. Saat di pengasingan itu, Sinuwun Paku Buwono II juga
mendapat perlindungan dari Kyai Kasan Besari pimpinan pondok pesantren di Tegal
Sari, Jetis Ponorogo Selatan. Pada 1755, ketika perjanjian Giyanti
ditandatangani oleh Sunan Pakubuwono II, VOC dan Pangeran Mangkubumi,
Trenggalek dihapuskan dan wilayahnya sebagian diberikan ke Kabupaten Ngrowo,
Pacitan, dan Ponorogo. Dalam penentuan
wilayah mancanegara untuk pembagian wilayah Kasunanan Solo dan Kasultanan
Yogjakarta, Trenggalek tidak disebutkan. Yang ada ialah Ponorogo karena
Trenggalek dianggap sebagai bagian dari Ponorogo.
Pembagian wilayah mancanegara menurut Perjanjian
Giyanti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.
Wilayah Mancanegara Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta
No
|
Kasunanan Kartasura
|
Kasultanan Yogyakarta
|
1
|
Negara Gung/Kota Raja
|
Negara Gung/Kota Raja
|
2
|
Jagaraga (Ngawi)
|
Madiun
|
3
|
Ponorogo
|
Magetan
|
4
|
Separoh Pacitan
|
Caruban
|
5
|
Kediri
|
Separoh Pacitan
|
6
|
Blitar
|
Kertosono
|
7
|
Srengat
|
Kalangbret
|
8
|
Lodoyo
|
Ngrowo
|
9
|
Pace (Nganjuk)
|
Japan (Mojokerto)
|
10
|
Wirasaba (Mojoagung)
|
Jipang (Bojonegoro)
|
11
|
Blora
|
Teraskaras (Ngawen
Semarang)
|
12
|
Kaduwang
|
Selowarung (Wonogiri)
|
13
|
Banyumas
|
Grobogan
|
Sumber: Perjanjian Giyanti 1755
Data pata Tabel 2 menunjukkan
bahwa pembagian wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tidak
berurutan dan tampak kacau. Misalnya,
Blitar masuk Surakarta tetapi Tulungagung masuk Yogyakarta. Madiun, Magetan, Caruban ialah wilayah
mancanegara Yogyakarta; Ponorogo, Nganjuk, Kediri masuk Surakarta tetapi
Kertosono masuk Yogyakarta. Pembagian
ini didasarkan pada politik pecah belah (divide et impera) agar persatuan
kerajaan sulit dipelihara. Sejak Pangeran
Mangkubumi mendapat wilayah Kasultanan Yogyakarta,
Belanda menentukan bahwa setiap pengangkatan raja atau adipati harus mendapat
izin dan persetujuan Belanda. Zaman Paku
Buwono II itu juga terjadi perpindahan kraton yang semula berada di Pajang
Kartasura dipindahkan ke Surakarta sampai sekarang.
Akibat perjanjian tersebut, nama
Trenggalek dihapuskan. Daerahnya
dimasukkan wilayah Mancanegara Kasunan
Surakarta dan wilayahnya dibagi menjadi dua, bagian timur masuk daerah Ngrowo
dan bagian selatan dan barat masuk kabupaten Pacitan.
Pada 1830 Belanda mengambil alih wilayah Surakarta dan
Yogjakarta. Pada 1842 nama Kabupaten Trenggalek secara jelas disebutkan dalam
arsip nasional. Dijelaskan Bupati Trenggalek Mangunnagoro wafat pada 1842 dan
digantikan oleh Ariyo Kusumoadinoto (1842-1843).
Pada 1845 wilayah Trenggalek
disatukan kembali oleh Belanda. Pada
1883 Mangunnagoro I diangkat bupati Trenggalek berdasarkan SK Gubernur Jendral
Hindia Belanda tanggal 10 Januari 1883, tentang wilayah perkebunan di Trenggalek.
Berdasarkan SK tersebut wilayah Trenggalek yang sebelumnya masuk wilayah
Ngrowo dikembalikan ke wilayah
Trenggalek lagi.
Pada 1885, ditentukan batas-batas
wilayah kabupaten oleh Gubernur Hindia Belanda berdasarkan Statsblad van Nederlanch Indie No, 107, tanggal 4 Juni 1885 dan SK
Gubernur Jendral tanggal 30 Mei 1885 No. 4/C tentang batas-batas Toelong Ahoeng, Trenggalek, Ngandjoek, dan
Kertosono. Wilayah Trenggalek yang
dikembalikan meliputi:
1.
Kecamatan Wonocoyo, Kecamatan Dongko dan Kecamatan
Gepok. Wilayah tersebut dimasukkan dalam Kawedanan Panggul.
2.
Kecamatan Ngrayung (sebelumnya masuk Kawedanan Lorok
Ponorogo, dan Bendungan (sebelumnya masuk Kawedanan Pulung Pacitan), disatukan
ke dalam Kawedanan Trenggalek.
Sebelumnya Trenggalek berada di
bawah kepemimpinan Asisten Residen Ngrowo.
Berdasarkan SK tersebut,
pengawasan Trenggalek tidak lagi digabung dengan Kabupaten Ngrowo,
tetapi langsung di bawah pimpinan Asisten Residen Trenggalek. Saat itu, wilayah Trenggalek dibagi ke dalam
6 distrik dan dipimpin 6 Wedono.
1.
Distrik Trenggalek, wilayahnya: Ngantru, Pogalan,
Sumurup, Bendungan
2.
Distrik Ngasinan, wilayahnya: Karangan, Ngetal,
Pucanganak, Winong, Jombok.
3.
Distrik Pakis, wilayahnya: Durenan, Jongke, Kamulan
4.
Distrik Kampak, wilayahnya: Bendo, Wonorejo, Watulimo,
Ketawang 5. Distrik Ngrayun, wilayahnya: Ngrayun, Pule, Cepoko
6. Distrik Panggul, wilayahnya: Panggul, Munjungan, Dongko, Tangkil
Ternyata penggabungan tersebut
belum berakhir. Pada masa RT Partowidjojo (1896-1901) menjabat Bupati
Tulungagung, dilakukan penggabungan dan penghapusan Trenggalek. Pertimbangan
geografis dan kondisi alam menjadi alasan utama penggabungan tersebut. Saat itu Tulungagung sering dilanda banjir.
Belanda memerintahkan agar Kabupaten Blitar menyumbang daerah Ngunut untuk
dimasukkan ke wilayah Tulungagung, Kabupaten Ponorogo menyumbangkan daerah
Trenggalek, dan Kabupaten Pacitan menyumbangkan daerah pantai di antaranya
Ngrayun, Panggul dan Jombok.
Kebijakan ini menyebabkan Trenggalek
dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Tulungagung. Setelah Bupati Trenggalek
KRT Poesponegoro wafat pada 1934 kabupaten Trenggalek dihapus lagi dan wilayahnya diberikan ke kabupaten Tulungagung
dan Pacitan. Jika konteks ini dirujuk,
definisi “pitulungan agung”
(pertolongan besar) justru diberikan untuk Tulungagung, bukan Tulungagung yang
pemurah dan memberi pertolongan.
Selain itu, pemaknaan Trenggalek sebagai “teranging galih” (hati nurani yang
bersih) juga tidak cocok dengan konteks.
Kerajaan Lodoyong: Analisis Spekulatif-Imajinatif
Siwi Sang yang
mengaku sebagai penulis novel sejarah, dengan bangga menyebutkan pada akhir
pemerintahan Raja Airlangga 1042 terdapat kerajaan di Selatan Sungai Brantas
yang merdeka dan bebas dari pengaruh Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Kerajaan itu disebut Lodoyong atau Kamal
Pandak atau Tulungagung sekarang dan rajanya seorang wanita bergelar Ratu Dyah
Tulodong. Dyah Tulodong menikah dengan kerabat Raja Airlangga dan mendapat
gelar Rakai Halu Dyah Tumambong. Bak
membaca novel, alur cerita tulisan Siwi Sang yang dimuat di blog tersebut
terasa begitu mulus sampai akhirnya terlupakan sumber dan rujukannya.
Jika artikel
itu dicermati, agaknya terdapat spekulasi imajinatif untuk mengidentifikasi
wilayah Tulungagung sebagai daerah bebas merdeka. Menurut Siwi Sang, Tulungagung memiliki peran
besar dalam panggung sejarah dan memiliki wilayah yang sangat luas, mulai dari
perbatasan Turen Malang dengan Lodoyo di Blitar sampai pegunungan Kampak,
Munjungan, Dongko, dan Panggul. Jadi, wilayah Tulungagung meliputi Blitar,
seluruh Tulungagung dan Trenggalek jika dideskripsikan untuk wilayah sekarang
atau tahun 2014 saat tulisan ini dibuat. Siwi Sang menulis:
“Pada masalalu, yang dinamakan
wilayah brangkidul Tulungagung adalah daerah di selatan sungai Brantas, mulai
alas Lodaya di timur, berbatasan langsung dengan Turen atau Turyantapada,
memanjang ke barat sampai gunung Wilis dan pegunungan Trenggalek, termasuk
Kampak dan Karangan- sampai tahun 1950M, Karangan dan Kampak masuk
Tulungagung”.
Kajian ulang
terhadap Prasasti Terep, Prasasti Pucangan, dan penelitian untuk disertasi oleh
Dr. Ninie Susanti (2010) serta ulasan oleh Dr. Aris Munandar (2013) dan Prof.
Dr. Slamet Mulyono (2006) tidak ditemukan raja Lodoyong dan identifikasi
wilayah selatan sebagai Tulungagung.
Selain Panjalu dan Janggala, pada saat itu tidak cukup bukti bahwa
terdapat kerajaan merdeka yang bernama kerajaan Lodoyong. Apalagi ada raja wanita di kerajaan Lodoyong
yang bergelar Ratu Dyah Tulodong yang kemudian diangkat menjadi petinggi
kerajaan oleh Airlangga karena perkawinan dan mendapat gelar Rakai Halu Dyah
Tumambong.
Tulungagung Terbentuk Zaman Belanda
Kata
Tulungagung untuk menunjukkan nama sebuah kebupaten baru digunakan pada 1885,
dengan sebutan Toelong Ahoeng.
Tulungagung dibentuk berdasarkan SK Gubernur Jendral Hindia Belanda
tanggal 4 Juni 1885 dan SK Gubernur Jendral tanggal 30 Mei 1885 No. 4/C tentang
batasbatas Toelong Ahoeng, Trenggalek,
Ngandjoek, dan Kertosono.
Sebelum itu, kabupaten Tulungagung disebut dengan
Kabupaten Ngrowo di
Campurdarat dan Kabupaten Kalangbret di Kalangbret
sekarang. Kedua daerah ini wilayahnya
terdiri dari rawa-rawa sehingga ketika keduanya digabung menjadi Kabupaten
Tulungagung, diperlukan bantuan wilayah dari Blitar, Trenggalek dan
Kediri.
Kebijakan ala
Belanda ini berlanjut sampai tahun 1950 setelah zaman kemerdekaan. Permasalahan terjadi pada 1933 setelah bupati
terakhir kabupaten Trenggalek, KRT Poesponegoro sebagai Bupati yang diangkat
Belanda wafat. Data ini bisa dibaca dari
naskah nasional berupa SK dan Dokumen Belanda yang tersimpan di museum nasional
Jakarta. Berdasarkan dokumen tersebut
kita bisa mengetahui bahwa intrik politik ini terjadi akibat intervensi Belanda
yang akan masuk lagi menjajah Indonesia dan pergolakan politik sebelum pecahnya
pemberontakan PKI.
Sebelumnya
“pergolakan” kepentingan “memperlakukan” Trenggalek dalam kancah politik
terjadi sejak zaman perpecahan dinasti Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta,
Kasunanan dengan Mangkunegaran di Surakarta, dan Kasultanan dengan Pakualaman
di Yogyakarta.
Apakah wilayah
Lodoyong membentang sedemikian luas dari Turen sampai Kampak yang melintasi
seluruh pesisir kidul di Trenggalek?
Tidak ada bukti untuk mengklaim seperti itu.
Kata Lawadan
daerah Campurdarat baru tercatat dalam Prasasti Raja Srenggo pada 1205, yang
berarti 11 tahun lebih muda dibanding Prasasti Kamulan yang dikeluarkan juga
oleh Raja Srenggo pada 1194. Karena
Lawadan ada di Campurdarat, bisa dipastikan bahwa daerah itu masuk dalam
Kabupaten Ngrowo. Pada zaman Singasari
(1222-1292) Ayahanda Prabu Rajasa didarmakan di Kalang Barat. Prasasti Mula
Malurung baris keenam menyebutkan:
“ di. Muwah ri kala kapratista
nira yuyut-ira. nkane san hyan dharmma ri kalang bret. San pranaraja pinaka
pura”
“juga ketika pendirian bangunan
suci untuk buyut lelaki sang prabu, ia yang didarmakan di Kalangbret, sang
pranaraja sebagai ... “
Kutipan di atas ialah penjelasan
mengenai leluhur Prabu Seminingrat atau Prabu Jaya Wisnu Wardhana (1248-1254)
anak Anusapati. Kutipan tersebut menjelaskan buyut beliau yang dicandikan di
Kalang Bret. Buyut yang dimaksud ialah
Ayahanda Ken Arok atau Raja Rajasa. Seseorang yang diberi penghormatan untuk
dicandikan hanyalah raja atau kerabat dekat raja. Jadi Ayahanda Ken Arok ialah raja atau
kerabat dekat raja. Karena zaman itu
hanya ada kerajaan Kediri, bisa disimpulkan Ayahanda Prabu Rajasa ialah raja
atau kerabat dekat raja di Kediri.
Kalang Bret zaman Singosari ialah bagian dari wilayah Doho Kadiri dan
disebut Kalang Barat. Secara geografis,
Kalang Barat dan Trenggalek menjadi satu wilayah dilihat dari lereng Wilis
bagian Barat dan Selatan, mulai dari Gunung Rajeg Wesi sampai Bendungan dan
Palung Ponorogo. Kalang Barat dimasukkan
menjadi wilayah Tulungagung pada 1885 ketika Belanda menetapkan batas wilayah
Trenggalek, Toloeng Ahoeng, Nganjoek, dan Kertosono. Itulah sebabnya Prasasti Penampihan
diidentifikasi sebagai Prasasti yang ditemukan di Kediri, bukan Tulungagung
walaupun sekarang lokasi candi Penampihan masuk dalam wilayah Tulungagung.
Di Wilayah Desa Turi Kecamatan
Sendang Tulungagung terdapat candi Penampihan yang diperkirakan didirikan pada
zaman Raja Dyah Tulodong. Tapi Wilayah
candi Penampihan ini sejak Mataram Kuno termasuk wilayah kerajaan Kediri. Dari berbagai prasasti Mataram Kuno kita
mengetahui bahwa perhatian ke wilayah Kediri sudah terjadi sejak awal kerajaan
Mataram karena Kediri merupakan daerah penting dalam rute perjalanan ke Hujung
Galuh menuju Bali. Selain itu, Kediri
ialah kota kuno sejak zaman itu karena kesejarahan Gunung Wilis. Kesejarahan gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung
Arjuno, Gunung Mahameru, dan anak pegunungan di Wengker, Kampak, Pacitan, dalam mitologi Hindu memiliki peranan amat
penting dalam perjalanan pemerintahan. Gunung Lawu ialah pusarnya tanah Jawa
dan dianggap sebagai tempat berkumpulnya para dewa. Gunung Lawu ada di tiga
kabupaten sekarang: wilayah selatan masuk Karanganyar Jawa Tengah, bagian Timur
masuk Magetan, dan utara masuk
Ngawi. Gunung Lawu dipercaya sebagai tempat
bersemayamnya Prabu
Brawijaya.
Penyebutan yang lebih kemudian
mengenai daerah Tulungagung baik dengan nama Ngrowo atau Kalang Bret terdapat
dalam Negarakartagama yang dikeluarkan pada zaman Prabu Hayam Wuruk (1350-1389). Disebutkan bahwa Prabu Hayam
Wuruk melakukan perjalanan ke Pantai Selatan melewati hutan Lodoyo. “Tidak peduli dari Blitar menuju ke selatan
sepanjang jalan, mendaki kayu-kayu mengering kekurangan air tak sedap
dipandang, maka Baginda Raja tiba di Lodaya beberapa malam tinggal di sana,
tertegun pada keindahan pantai laut dijelajahi menyisir pantai”
(Negarakartagama, 241).
Pada zaman raja Srenggo di Kediri
melalui Prasasti Kamulan (1194) kita tahu bahwa wilayah lereng gunung di
Kalangbret termasuk bagian dari perdikan Kamulan Trenggalek. Pada zaman Majapahit akhir, Demak, Pajang,
Mataram dan Kasunanan Surakarta, Tulungagung masih disebut dengan Ngrowo dan
Kalangbret. Berdasarkan bukti-bukti ini
bisa ditegaskan bahwa daerah di kota Tulungagung yang tercatat pertama kali
dalam prasasti Raja Srenggo Kediri pada 1205 ialah Lawadan di Campurdarat.
Uraian di atas
cukuplah kiranya untuk membuktikan bahwa Lodoyong bukan Tulungagung. Tidak ada nama kerajaan Lodoyong dan tidak
ada Ratu bergelar Dyah Tulodong yang berkedudukan di kerajaan Lodoyong. Jika
merujuk pada kemiripan nama, justru yang menyerupai nama Lodoyong ialah Lodoyo
di Blitar. Tidak cukup bukti bahwa
Lodoyong ialah kerajaan di brang Kidul yang disebut Tulungagung. Jika merujuk pada kondisi seluruh Wilayah
Trenggalek yang sudah menerima status otonom sejak zaman Raja Sindok 929,
kemungkinan kerajaan Brang Kidul itu justru ada di Trenggalek atau Lodoyo,
Blitar. Identifikasi Lodoyo dengan
Lodoyong lebih dekat jika dirunut dalam cerita tutur lahirnya Dadak Merak dalam
reyog Ponorogo. Dadak merak yang
berkepala singa dan merak itu menurut legenda terjadi akibat Raja Lodoyo yang
berkepala singa dikutuk oleh Raja Kelono Sewandono dari Kerajaan Atas Angin di
Wengker (Atas Angin sekarang di daerah Sumoroto, Ponorogo). Kisah ini
dihubungkan dengan Raja Airlangga ketika di akhir pemerintahannya pada 1042
putri mahkota Airlangga, Sangramawijaya Tunggadewi atau Dewi Kilisuci
dipersunting Raja Wengker dan Raja Brang Kidul dari Lodoyo. Kisah rebutan putri
mahkota ini diabadikan dalam kisah Reyog Ponorogo ini. Prabu Hayam Wuruk juga pernah menjelaskan
bahwa beliau memiliki paman yang diberi daerah lungguh di Lodoyo dan merupakan
kerabat dari Raja Wengker yang merupakan mertuanya, ayah Paduka Sori,
permaisuri Sang Prabu.
Apakah
wilayah Lodoyong Tulungagung meliputi perbatasan Turen Malang dengan Lodoyo
sampai Kampak, Munjungan dan Panggul? Siwi Sang mengatakan:
“Kemenangan Mpu Sindok atas Sriwijaya juga berkat
sokongan kekuatan dari Kampak. Mpu
Sindok kemudian mengeluarkan prasasti yang berisi anugerah sima perdikan kepada
daerah Kampak. Ini hampir bersamaan dengan dikeluarkannya Prasasti Anjukladang
yang kelak menjadi landasan hari jadi kabupaten Nganjuk. Sebelum menjadi bagian
Trenggalek, daerah Kampak masuk Tulungagung.
Karenanya dapat dikatakan pula bahwa pada awal pemerintahan Mpu Sindok,
Tulungagung kembali tampil dalam pentas sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja”.
Jawabannya ialah tidak ada dokumen
atau keterangan yang menjelaskan Tulungagung memiliki wilayah sampai Kampak,
Dongko, Munjungan, dan Panggul.
Munjungan dan Panggul perlu ditambahkan sekalian di sini karena Perdikan
Kampak membawahi Munjungan dan Panggul.
Prasasti Raja Sindok (929) dan Prasasti Raja Srenggo (1194) menegaskan
wilayah perdikan Trenggalek bahkan semakin meluas meliputi seluruh daerah
Trenggalek sekarang. Ini menegaskan
bahwa Trenggalek adalah wilayah penting dari Kediri karena berada di lereng
Gunung Wilis melalui Bendungan. Selain
itu, Lodoyo ialah daerah perdikan tersendiri dan menjadi bagian dari
Blitar. Jadi, Lodoyo bukan bagian dari
Tulungagung.
Dalam pernyataan mengenai daerah
merdeka yang diidentifikasi sebagai kerajaan yang otonom selain Tulungagung,
Siwi Sang jelas tidak cermat.
“Ketika Medang i Bhumi Watan
runtuh, beberapa kerajaan bawahannya seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan
Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong berdaulat di selatan sungai Brantas, mulai
dari alas Lodaya di timur, hingga daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung
Wilis, batas Hasin”.
Letak Kerajaan Hasin yang tepat
ialah di dusun Ngasinan, Desa Kelutan Trenggalek Kota. Di Ngasinan terdapat sungai Ngasinan yang
mengalir kearah timur dan berpangkal dari Gunung Wilis di Kecamatan
Bendungan. Hasin ada pada zaman Raja
Airlangga (1019-1042) sedangkan
Kamulan disebut dalam prasasti Kamulan (1194) pada
zaman Raja Srenggo Kediri. Jika Kamulan
ada di Durenan, mengapa batas wilayah Lodoyong diklaim sampai ke Kampak?
Ratu Dyah Tulodong
Pernyataan bahwa ada Ratu di kerajaan
Lodoyong bernama Dyah Tulodong sungguh spekulatif-imajinatif. Menurut Siwi Sang
raja Lodoyong ialah ratu putri bernama Dyah Tulodong. Dyah Tulodong dikalahkan Airlangga tetapi
diberi pengampunan dan bahkan dinikahkan dengan kerabat Airlangga dan mendapat
gelar Rakai Halu Dyah Tumambong. Pasukan
Lodoyong kemudian bersama-sama menyerang raja Wura-Wari di Cepu (Lwaram). Beberapa kerajaan vasal atau haji (raja kecil
semacam rakyan, akuwu, atau adipati) menggunakan kata Lwa, misalnya Lwa Arang
untuk Lawang, Malang; Lewa untuk kerajaan vasal kerajaan Wengker.
Pembacaan
prasasti Pucangan yang cukup cermat mengenai perjalanan Airlangga dalam
menundukkan musuh-musuhnya antara 10291035 tidak mendukung deskripsi tersebut.
Dr. Ninie Susanti (2010:98-99) menjelaskan:
1.
Tahun 1029, Airlangga mengalahkan Raja Wisnuprabhawa
dari kerajaan Wuratan. Raja ini disebut
sebagai anak raja yang ikut menyerang Teguh Darmawangsa.
2.
Pada 1030, Raja Airlangga mengalahkan Raja Hasin di
Trenggalek. Airlangga menganugerahkan Desa Baruharjo sebagai daerah sima.
3.
Tahun 1031, Airlangga mengalahkan haji Wengker
(kerajaan vasal Wengker) di keraton Lewa bernama Raja Panuda. Raja Panuda sempat melarikan diri tetapi
dapat dikejar dan dihancurkan bersamasama anak dan kratonnya pada tahun itu
juga.
4.
Tahun 1032, Haji Wura-Wari dihancurkan juga oleh
Airlangga dari arah Magetan. Saat yang sama,
Airlangga diserang Ratu Wanita yang kekuatannya seperti raksasa. Airlangga kalah dan melarikan diri di desa
Patakan Lamongan, tetapi Airlangga berhasil menuntut balas dan menghancurkan
Raja Wanita tersebut pada tahun yang sama.
Atas kemenangan tersebut, Airlangga memberi anugerah kepada Rakai
Pangkaja Dyah Tumambong dan diberi gelar tambahan Rakai Halu Dyah Tumambong.
5.
Pada 1035 Raja Wijayawarma dari Wengker memberontak
lagi tetapi bisa dibinasakan pada tahun yang sama.
Fakta di atas menunjukkan bahwa
tidak cukup bukti untuk mengidentifikasi ratu perempuan di kerajaan Lodoyong
bergelar Ratu Dyah Tulodong. Bahkan penyamaan Dyah Tulodong dengan Dyah
Tumambong ialah spekulatif sekali. Prasasti tidak menyebutkan siapa raja wanita
tersebut. Yang jelas disebutkan ialah
Airlangga memberi anugerah kepada Mapanji Tumanggala yang dianggap sebagai adiknya dengan gelar
Rakai Halu Dyah Tumambong. Jadi keliru
besar jika Rakai Halu Dyah Tumambong diidentifikasi sebagai gelar ratu wanita
yang menyerang Airlangga dan diampuni lalu dinaikkan pangkatnya.
Menurut prasasti Lintakan (919)
Dyah Tulodong ialah menantu Mpu Daksa yang menggantikan sebagai raja bergelar
Rakai Layang Dyah Tulodong. Saat itu, yang menjabat Rakai Hino ialah Mpu Kettuwijaya
dan Rakai Halu ialah Mpu Sindok. Prasasti Sangguran tertanggal
2
Agustus 928 menyebut adanya raja baru bernama Rakai Sumba Dyah Wawa. Ia
diyakini sebagai raja pengganti Dyah Tulodong. Prof. Buchori meyakini Dyah Wawa
melakukan kudeta terhadap Dyah Tulodong dibantu dengan Mpu Sindok. Diperkirakan Dyah Wawa terbunuh karena hanya
berjarak satu tahun Mpu Sindok memindahkan kerajaan yang waktu itu berpusat di
Kedu ke Tembalang Jombang (929) dan Mpu Sindok menjadi raja baru. Fakta ini juga menegaskan bahwa telah terjadi
salah identifikasi Dyah Tulodong raja Mataram menjadi Raja Lodoyong
Tulungagung. Jika di Tulungagung ada
kerajaan yang rajanya bergelar Dyah, pastilah kerajaannya besar dan tercatat
dalam sejarah, serta rajanya memiliki geneologi dengan raja yang menggunakan
gelar sejenis. Faktanya, raja-raja
Mataram Kuno tidak ada yang membentuk koloni di Tulungagung.
Sebelum perjanjian Giyanti, Tulungagung
dan seluruh wilayah Jawa berada di bawah kekuasaan Raja Kasunanan Surakarta
penerus dinasti Mataram. Setelah perjanjian itu Tulungagung menjadi wilayah
Kasultanan Yogyakarta tetapi masih bernama kabupaten Ngrowo dan Kalangbret, dan
dipimpin oleh bupati yang ditunjuk Sultan Yogyakarta atas persetujuan Belanda.
Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh Sinuwun Paku Buwono III, Pangeran
Mangkubumi, dan VOC Belanda pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini
merupakan kesepakatan bahwa Pangeran
Mangkubumi menghentikan pemberontakan karena mendapat separoh wilayah Mataram
dan diangkat sebagai Sultan di Kasultanan Yogyakarta bergelar Sultan Hamengku
Buwono I.
SIMPULAN
1)
Kata Trenggalek berasal dari daerah penghasil gaplek
dan sebutan itu ada sejak pemerintahan Raja Dyah Wawa di Mataram Kuno
(924-928). Penelusuran sejarah menunjukkan bahwa nama Trenggalek telah ada
sejak Raja Sindok 929 dan seluruh wilayah Trenggalek sekarang mendapat status
sima-parasima sampai zaman Majapahit dipimpin Prabu Kertawardhana.
2)
Penghapusan kabupaten Trenggalek atau penggabungan
wilayah Trenggalek dengan Tulungagung, Pacitan, dan Ponorogo terjadi karena
politis, yaitu sejak perjanjian Giyanti 1755 dan masa penjajahan Belanda.
3)
Trenggalek tidak berubah namanya dari zaman Raja Sindok
sampai sekarang. Kata Tulungagung baru muncul pada 1885 dan merupakan nama baru
penggabungan Kabupaten Ngrowo dan Kalangbret.
4)
Daerah dalam wilayah Tulungagung, yaitu Lawadan disebut
dalam prasasti tertua yang dikeluarkan Raja Srenggo Kediri pada 1205; Kampak
sebagai wilayah Trenggalek disebut dalam Prasasti Kampak pada 929 dan Baruharjo
Durenan disebut dalam Prasasti Kamulan pada 1194. Jadi Trenggalek jauh lebih
dulu disebutkan dalam prasasti dibanding Tulungagung. Makna pitulungan agung yang tepat ialah
Tulungagung telah ditolong oleh Trenggalek, Kediri dan Blitar karena disumbang
beberapa wilayah.
5)
Berdasar kajian ini, terdapat informasi dan data yang
tidak akurat mengenai Sejarah Tulungagung sehingga teks tersebut perlu
direvisi. Sebaliknya Trenggalek sudah berusia 820 tahun atau 1085 tahun, tetapi
belum cukup dewasa memperlakukan sejarahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Aam. 2012. Pengantar
Ilmu Sejarah. Bandung: Pustaka
Setia.
Babad Tanah Jawi: Mulai Nabi Adam sampai
Tahun 1647. 2012.
Yogjakarta: Penerbit Narasi. Alihbahasa oleh HR
Sumarsono.
Badio, Sabjan. 2012. Menelusuri
Kesultanan di Tanah Jawa.
Yogjakarta: Penerbit Aswaja
Pressindo.
Bayu, Adji Krisna. 2012. Raja-Raja
Jawa dari Kalinga hingga Kasultanan
Yogyakarta. Yogjakarta: Penerbit Araska.
Boechari. 2012. Melacak
Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Budiharso, Teguh & Solikhah,
Imroatus. 2014. Rekonstruksi Sejarah Trenggalek.
Makalah.
Manuskrip Silsilah Keturunan Batoro Katong dan Adipati
Trenggalek.
Moentadhim, Martin. 2010. Pajang:
Pergolakan Spiritual, Politik dan Budaya.
Jakarta: Penerbit Genta Pustaka.
Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah
Kerajaan Majapahit. Yogjakarta:
Penerbit LeKdis.
Pemerintah Kabupaten Trenggalek.
1982. Sejarah Kabupaten Trenggalek.
Purwadi.
2008. Babad Giyanti: Konflik Kerajaan Mataram menjadi Surkarta dan Yogjakarta. Yogyakarta: Penerbit Media Abadi.
Purwadi. 2010. Sejarah Sastra Jawa Klasik. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Samroni, dkk. 2010. Daerah Istimewa Surakarta. Yogyakarta: Penerbit Pura Pustaka.
Sang, Siwi. 2013. Girindra:
Pararaja Tumapel Majapahit.
Tulungagung: Pena Ananda Indie
Pblishing.
Sidomulyo, Hadi. 2007. Napak
Tilas Perjalanan Mpu Prapanca.
Surabaya:
Wedatama Widya Sastra dan Yayasan Nandiswara FIS
UNESA.
Sujarweni, Wiratna. 2012. Jelajah
Candi Kuno Nusantara. Yogjakarta:
DIVA Press.
Susanti, Ninie. 2010. Airlangga:
Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI.
Jakarta:
Penerbit Komunitas Bambu.
Suwardono. 2013. Tafsir
Baru Kesejarahan Ken Angrok.
Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Riana,
Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi
Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[1] Artikel
ini sebelumnya dipublikasi di blog pribadi: budiharsoteguh.blogspot.com,
diterbitkan dalam versi artikel ilmiah setelah melalui beberapa modifikasi oleh
penulis sendiri.
Boleh Minta informasi silsilah keturunan? 🙏
BalasHapus